Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memutus Rantai Kekerasan Polisi Pasca-tragedi Kanjuruhan

KOMPAS.com - Wacana reformasi di Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali mencuat pasca-tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10/2022).

Per Selasa (4/10/2022) pukul 10.00 WIB, tercatat ada 131 korban tewas dalam kericuhan yang terjadi setelah pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya itu.

Penggunaan gas air mata untuk mengendalikan massa dinilai menjadi penyebab timbulnya korban jiwa.

Pertandingan derbi Jawa Timur yang hanya dihadiri suporter Arema FC itu berjalan dengan tertib hingga peluit terakhir dibunyikan.

Kemudian, sejumlah Aremania memasuki lapangan untuk memberikan dukungan terhadap pemain Arema FC yang kalah 2-3 dari Persebaya.

Akan tetapi, penonton yang memasuki lapangan semakin banyak sehingga polisi berusaha membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata. Tembakan gas air mata juga diarahkan ke tribune.

Akibatnya, penonton di area tribune mencoba menyelamatkan diri. Mereka berdesak-desakan dan banyak orang pingsan karena kekurangan oksigen, dan ratusan orang pun meninggal.

Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur Irjen Nico Afinta mengeklaim penggunaan gas air mata untuk mengendalikan massa sesuai prosedur. Sedangkan, FIFA melarang penggunaan gas air mata untuk mengurai massa di stadion.

Kini, pemerintah telah membentuk tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) untuk mengungkap penyebab tragedi tersebut.

Momentum reformasi Polri

Kendati demikian, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi momentum reformasi Polri.

Menurut Erasmus, reformasi diperlukan untuk memutus rantai kekerasan yang kerap dilakukan anggota Polri ketika berhadapan dengan warga sipil.

Berdasarkan data Amnesty International Indonesia, Polri memiliki rekam jejak penggunaan kekerasan berlebihan yang mengakibatkan korban warga sipil.

Pada 2020, Amnesty menghimpun data kekerasan polisi selama aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja antara 6 Oktober sampai 10 November.

 

Amnesty mendokumentasikan setidaknya 411 korban penggunaan kekuatan polisi di 15 provinsi selama aksi demonstrasi berlangsung. Organisasi itu juga mencatat 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi. 

Oleh sebab itu, Erasmus menilai, evaluasi perlu dilakukan terkait ranah atau kewenangan Polri yang dinilai sangat luas.

"Ranah kepolisian ini kan terlalu luas. Dia mengurusi lalu-lintas, reskrim, keamanan, ketertiban, dan lain-lain. Nah itu perlu dievaluasi. Apakah kewenangan yang sangat luas itu sudah tepat dipegang oleh satu institusi? Karena itu sangat berkaitan," kata Erasmus, kepada Kompas.com, Rabu (5/10/2022).

Kemudian, Erasmus menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap Polri dalam menjalankan tugas. Artinya perlu ada lembaga eksternal yang berfungsi mengawasi apabila terjadi dugaan pelanggaran hukum oleh polisi.

Di sisi lain, Erasmus berpandangan, mekanisme pengawasan yang selama ini dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tidak maksimal.

"Kompolnas itu dibubarkan saja. Kita perlu satu lembaga yang cukup kuat untuk mengawasi secara eksternal aparat penegak hukum kita," kata dia.

Erasmus menjelaskan, lembaga pengawas eksternal ini bisa memiliki fungsi penuntutan, penyidikan, penyadapan, dan lain-lainnya, khusus terhadap penegak hukum dan hakim.

"Jadi kerjanya mengawasi, enggak usah menangkap kepala daerah yang kecil-kecil. Fokusnya di aparat hukum saja, salah satunya kepolisian," ucapnya.

Selanjutnya, Erasmus menyarankan soal pembenahan sistem rekrutmen anggota Polri. Dia mencontohkan, idealnya seorang penyidik kepolisian merupakan lulusan fakultas hukum.

"Penyidik enggak boleh lagi lulusan PTIK, dia harus lulusan hukum, paham hukum, bisa berdebat secara hukum baru jadi penyidik. Bukan lulusan SMA," kata Erasmus.

Reformasi kultural

Dikutip dari Kompas.id, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengatakan, penanganan aparat dalam Tragedi Kanjuruhan perlu dievaluasi.

Dia berpandangan penanganan aparat cenderung arogan. Ini terlihat dari tendangan, pukulan, hingga kejaran aparat terhadap penonton dalam sejumlah video yang beredar pasca-kericuhan.

”Arogansi aparat masih berlebihan. Ini problem klasik di kepolisian. Artinya, reformasi kultural di kepolisian tidak berjalan dengan benar,” kata Bambang saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (4/10/2022).

Bambang menilai, penggunaan gas air mata kepada penonton tidak tepat. Hal ini seperti menyamakan penonton dengan pengunjuk rasa. Sementara, penonton berhak atas kenyamanan dan keamanan.

Ia menuturkan, persiapan keamanan oleh aparat mestinya dimaksimalkan. Pihak kepolisian umumnya memiliki rencana pengamanan dan rencana kontingensi untuk mengamankan suatu agenda.

Rencana ini disusun berdasarkan informasi intelijen. Umumnya, kepolisian dapat mengukur potensi insiden dan mengantisipasinya berdasarkan informasi tersebut.

Jika insiden tetap terjadi, aparat mesti bertindak sesuai prosedur, seperti memberi peringatan tiga kali dan melokalisasi kerumunan. Tindakan lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan water cannon.

”Dalam unjuk rasa, misalnya, ada water cannon, peluru karet, dan gas air mata yang bisa digunakan. Tapi, di Kanjuruhan kita tidak melihat upaya pendekatan yang lebih humanis. Padahal, penonton di pertandingan (sepak bola) itu beda sekali dengan pengunjuk rasa,” kata Bambang.

https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/10/06/190000282/memutus-rantai-kekerasan-polisi-pasca-tragedi-kanjuruhan

Terkini Lainnya

[HOAKS] Komedian Sule Meninggal karena Kecelakaan

[HOAKS] Komedian Sule Meninggal karena Kecelakaan

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Demo Terkait Kasus Pegi Setiawan di Cirebon pada 1 Juni

[HOAKS] Video Demo Terkait Kasus Pegi Setiawan di Cirebon pada 1 Juni

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Paket COD di Yogyakarta dari Sindikat Narkoba China

[HOAKS] Paket COD di Yogyakarta dari Sindikat Narkoba China

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Wali Kota Boston Michelle Wu Keturunan Indonesia

[HOAKS] Wali Kota Boston Michelle Wu Keturunan Indonesia

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Terawan Promosikan Obat Hipertensi

[HOAKS] Video Terawan Promosikan Obat Hipertensi

Hoaks atau Fakta
Cek Fakta Sepekan: Hoaks Artis Meninggal dan Gibran Batal Dilantik

Cek Fakta Sepekan: Hoaks Artis Meninggal dan Gibran Batal Dilantik

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Tidak Ada Hujan Ikan di Iran, Peristiwa Lele Berserakan Terjadi di China

INFOGRAFIK: Tidak Ada Hujan Ikan di Iran, Peristiwa Lele Berserakan Terjadi di China

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Hoaks KFC Beri Voucher 3 Ember Ayam Goreng Gratis, Simak Bantahannya

INFOGRAFIK: Hoaks KFC Beri Voucher 3 Ember Ayam Goreng Gratis, Simak Bantahannya

Hoaks atau Fakta
Menilik Misi Dokter Lintas Batas di Daerah Bencana sampai Zona Perang

Menilik Misi Dokter Lintas Batas di Daerah Bencana sampai Zona Perang

Data dan Fakta
[HOAKS] Foto Ferdy Sambo Berada di Luar Negeri

[HOAKS] Foto Ferdy Sambo Berada di Luar Negeri

Hoaks atau Fakta
Hoaks soal 5 Pendiri NASA, dari Walt Disney sampai Aleister Crowley

Hoaks soal 5 Pendiri NASA, dari Walt Disney sampai Aleister Crowley

Hoaks atau Fakta
Kesetiaan Marco Reus dan Perpisahannya dengan Dortmund...

Kesetiaan Marco Reus dan Perpisahannya dengan Dortmund...

Data dan Fakta
[HOAKS] Penemuan Tengkorak Raksasa di Sri Lanka

[HOAKS] Penemuan Tengkorak Raksasa di Sri Lanka

Hoaks atau Fakta
Pakar HAM PBB Serukan Sanksi dan Embargo Senjata terhadap Israel

Pakar HAM PBB Serukan Sanksi dan Embargo Senjata terhadap Israel

Data dan Fakta
Pembantaian Tulsa, Kekerasan Rasial Terburuk dalam Sejarah AS

Pembantaian Tulsa, Kekerasan Rasial Terburuk dalam Sejarah AS

Sejarah dan Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke