KOMPAS.com - Reformasi 1998 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Krisis yang dialami negara dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soeharto menjadi beberapa alasan yang akhirnya mendorong Reformasi terjadi.
Tanggal 18 Mei 1998 menjadi salah satu momen dramatis dalam perjalanan Reformasi. Pada saat itu, ribuan mahasiswa berhasil menguasai Gedung MPR/DPR.
Di sana, mereka berdemonstrasi dan mengungkapkan tuntutan agar Soeharto mundur dari jabatannya. Sebagian mahasiswa bahkan melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR sebagai bentuk protes.
Negosiasi dengan parlemen
Diwartakan Kompas.com, kelompok pertama yang berhasil masuk ke dalam gedung DPR pada 18 Mei 1998 berasal dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ).
Mereka masuk sekitar pukul 11.30.WIB, terdiri dari 50 perwakilan mahasiswa dari FKSMJ berasal dari berbagai kampus.
Keberhasilan perwakilan FKSMJ masuk ke dalam gedung DPR, membuat kelompok mahasiswa lainnya juga ikut bernegosiasi untuk bisa masuk ke dalam kompleks parlemen itu. Hasilnya, pukul 13.00 WIB, sejumlah mahasiswa diperbolehkan masuk.
Saat itu, dalam audiensi FKSMJ menuntut dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk mengganti Soeharto.
Pada hari yang sama, gedung DPR juga sudah didatangi perwakilan Institut Pertanian Bogor yang dipimpin Rektor IPB Soleh Salahuddin.
Mereka menemui Fraksi Karya Pembangunan (Golkar) dan Fraksi Persatuan Pembangunan menyampaikan tuntutan mereka yaitu reformasi di segala bidang.
Mereka yang hadir di Gedung MPR/DPR
Pada 18 Mei 1998, tak hanya mahasiswa yang bergerak menuju gedung DPR RI. Sejumlah tokoh ikut melebur dalam Gerakan Reformasi Nasional tersebut.
Dilansir dari arsip Harian Kompas, tokoh yang datang antara lain Subroto, YB Mangunwijaya, Ali Sadikin, Solichin GP, Rendra, dan Sri Edi Swasono.
Mereka juga sempat berorasi di dalam gedung DPR. Salah satunya Dimyati Hartono, yang menuntut reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum; serta tuntutan mundurnya Soeharto-Habibie.
Dalam hari yang sama, Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais juga sedang mengadakan pertemuan dengan Komisi II DPR.
Dalam pertemuan tersebut, Amien Rais mengatakan, Sultan Hamengkubuwono X siap memimpin long march pada 20 Mei 1998 di Yogyakarta untuk menuntut digelarnya Sidang Umum Istimewa MPR dengan agenda penggantian kepemimpinan nasional.
Harmoko "mendukung" Soeharto turun
Salah satu momen krusial dalam aksi demonstrasi 18 Mei 1998 adalah ketika Harmoko selaku pimpinan MPR/DPR menyatakan dukungannya terhadap tuntutan mahasiswa.
Saat itu, Harmoko membuat konferensi pers menyikapi tuntutan reformasi. Bagai petir di siang bolong, Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko, dikutip dari arsip Kompas yang terbit 19 Mei 1998.
"Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional," tutur Harmoko.
Pernyataan Harmoko ini sangat mengejutkan, mengingat posisi dan latar belakangnya sebagai salah satu orang dekat Soeharto.
Kendati demikian, pernyataan itu dibantah Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Menurut Wiranto, pernyataan Harmoko adalah pendapat pribadi.
Pernyataan tersebut dinilai tidak mewakili suara fraksi-fraksi yang ada di DPR/MPR. Setidaknya, dua fraksi pendukung Orde Baru, salah satunya Fraksi Karya Pembangunan atau F-KP (Golkar).
Pimpinan F-KP diwakili Sekjen DPP Golongan Karya Arry Mardjono menyatakan, pernyataan pimpinan DPR tersebut bukan pendapat F-KP ataupun DPP Golkar.
"Sikap DPP Golkar kita serahkan pada rapat besok (hari ini) bersama-sama fraksi lain. Itu jangan diartikan DPP Golkar belum memiliki sikap," ucap Arry.
Mahasiswa masih bertahan
Pernyataan Harmoko pada 18 Mei 1998 memberikan secercah harapan kepada para mahasiswa dan aktivis yang saat itu menduduki gedung DPR.
Meski demikian, hal tersebut tak lantas membuat mereka mengakhiri aksi demonstrasi dan meninggalkan gedung parlemen.
Catatan Kompas, sebagian memang meninggalkan kompleks parlemen. Namun, sebagian lain masih bertahan dan tidak percaya begitu saja dengan pernyataan Harmoko dan tetap menuntut pelaksanaan Sidang Istimewa untuk mengganti Soeharto.
Esok harinya, pada 19 Mei 1998, aksi demonstrasi semakin besar, jumlah mahasiswa dan aktivis akan semakin banyak untuk menuntut Soeharto mundur.
Dinamika politik yang ada saat itu pun tidak menguntungkan Soeharto, sehingga pada 21 Mei 1998 ia memutuskan mundur dari presiden Republik Indonesia.
Agenda pertama reformasi, yaitu mundurnya Soeharto berhasil dilakukan.
Selengkapnya, baca juga di artikel interaktif: VIK: Kejatuhan (daripada) Soeharto
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/05/17/184106082/ketika-mahasiswa-menguasai-gedung-mpr-dpr-pada-18-mei-1998