Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Apakah Al Bisa Jadi Inventor Paten Layaknya Manusia? (Bagian II-Habis)

Kompas.com - 17/10/2023, 09:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 24 April 2023, Mahkamah Agung Amerika Serikat (The Supreme Court of the United States) atau yang disingkat SCOTUS, menolak permohonan kasasi yang diajukan Dr. Thaler terkait pendaftaran paten DABUS.

Sebelumnya Kantor Paten dan Merek Dagang AS serta hakim Federal Virginia, telah lebih dulu menolak permohonan pendaftaran paten DABUS, dengan alasan inventor atau penemunya adalah Artificial Inteligence (AI).

Baca juga: Apakah Al Bisa Jadi Inventor Paten Layaknya Manusia? (Bagian I)

Dilansir Reuters (24/5/2023), SCOTUS memutus menolak pendaftaran paten atas penemuan yang diciptakan oleh sistem AI.

Putusan Mahkamah Agung AS menguatkan putusan pengadilan lebih rendah yang menyatakan bahwa paten di AS hanya dapat diberikan kepada inventor manusia atau orang-perseorangan.

Dr. Thaler beragumentasi kepada Mahkamah Agung bahwa AI digunakan untuk berinovasi di berbagai bidang, mulai dari obat-obatan hingga energi.

Menurut dia, penolakan paten yang dihasilkan oleh AI akan membatasi kemampuan sistem paten. Singkatnya, Ia juga menyinggung dampak terhadap inovasi dan kemajuan teknologi secara optimal.

Hal yang menarik, upaya hukum Dr. Thaler justru didukung oleh Profesor Hukum terkenal Harvard Lawrence Lessig dan akademisi lainnya. Mereka mengatakan bahwa putusan Federal Circuit membahayakan miliaran dollar dalam investasi saat ini, masa depan dan daya saing AS.

Putusan SCOTUS ini sejalan dengan sikap internasional saat ini, karena permohonan paten serupa telah ditolak di Australia, Jerman, Selandia Baru, Taiwan, Uni Eropa, Korea Selatan, Amerika dll.

Dr. Thaler memang tak pernah menyerah, ia juga menentang putusan Kantor Hak Cipta AS yang menolak perlindungan hak cipta untuk karya seni yang dibuat oleh DABUS.

Dilansir New York Times (15 /7/2023), Senat AS juga memberikan perhatian terhadap hal ini. Senat mengadakan pembahasan tentang AI dan paten.

Salah satu yang hadir adalah Dr. Ryan Abbott, seorang profesor di Fakultas Hukum Universitas Surrey di Inggris yang dikenal cenderung mendukung fenomena ini.

Menurut Dr. Abbott, yang juga seorang dokter dan pengajar di David Geffen School of Medicine di University of California, Los Angeles, hal ini berkorelasi dengan insentif yang tepat untuk era teknologi baru.

AI yang berkembang pesat, menurut Dr. Abbott, sangat berbeda dengan alat tradisional yang digunakan dalam penemuan, misalnya, pensil atau mikroskop. AI generatif juga merupakan generasi baru program komputer.

Hal ini tidak terbatas untuk melakukan hal-hal yang secara khusus diprogram untuk dilakukan. Namun menghasilkan hal yang tidak direncanakan, seperti yang dilakukan orang-perseorangan.

Hukum Indonesia

Bagaimana dengan hukum Indonesia? Saat ini kita memiliki UU No. 13 Tahun 2016 Tentang Paten, yang keterkaitannya dapat dikemukakan sebagai berikut:

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com