Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Warisan Kearifan Lao Tse

Kompas.com - 19/06/2023, 18:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM upaya pribadi menempuh perjalanan mempelajari semesta spiritual, saya mengagumi empat tokoh, yaitu Jesus Kristus, Sokrates, Siddharta Gautama, dan Lao Tse.

Ternyata entah secara kebetulan atau tidak, empat tokoh tersebut memiliki kesamaan, yaitu sama-sama tidak mewariskan kearifan pemikiran adiluhur dalam bentuk tulisan.

Maka saya mengenal keempat maha tokoh tersebut terpaksa terbatas sekadar dalam bentuk “konon” dari tulisan orang-orang lain.

Saya mengenal Jesus Kristus dari Alkitab Perjanjian Baru yang ditulis oleh Lukas, Matius, Markus, dan Yahya.

Saya mengenal Sokrates dari tulisan Platon dan Xenophon serta mengenal Siddharta Gautama dari tulisan Herman Hesse.

Sementara saya mengenal Lao Tse dari tulisan Zhuang Zi, Karl Jasper maupun ulasan ensiklopedia filsafat Stanford yang agar tidak keliru saya copas sebagai berikut:

The Shiji (Records of the Historian) by the Han dynasty (206 B.C.E.–220 C.E.) court scribe and historian Sima Qian (ca. 145–86 B.C.E.) offers a “biography” of Laozi. Its reliability has been questioned, but it provides a point of departure for reconstructing the Laozi story. Laozi was a native of Chu, according to the Shiji, a southern state in the Zhou dynasty (see map and discussion in Loewe and Shaughnessy 1999, 594 and 597). His surname was Li; his given name was Er, and he was also called Dan. Laozi served as a keeper of archival records at the court of Zhou. Confucius (551–479 B.C.E.) had consulted him on certain ritual matters, we are told, and praised him lavishly afterward (Shiji 63). This establishes the traditional claim that Laozi was a senior contemporary of Confucius. A meeting, or meetings, between Confucius and Laozi, identified as “Lao Dan,” is reported also in the Zhuangzi and other early Chinese sources.

Harap secara khusus diperhatikan pengggunaan kata “claim” maupun “biography” di dalam tanda kutip pada ulasan penafsiran ensiklopedia filsafat Stanford terhadap kisah hidup Laozi sebagai sebutan bahasa Inggris-Amerika untuk Lao Tse.

Dari suasana serba mengambang tersebut dapat disimpulkan sebagai indikasi bahwa pada hakikatnya para sejararawan masih tidak yakin atau minimal belum sepakat mengenai Lao Tse sebenarnya tokoh fiktif atau tokoh nyata.

Sampai masa kini masih belum paripurna dan belum sempurna disepakati mengenai apakah Lao Tse memang pernah benar-benar hidup pada kenyataan sezaman dengan Kong Hucu atau Lao Tse “hanya” sesosok tokoh yang sengaja dilegendakan sebagai narasi untuk melahirkan pemikiran Taoisme.

Namun bagi saya tidak penting tentang Lao Tse tokoh fiktif atau tokoh nyata. Bagi saya yang lebih penting adalah de facto kearifan Lao Tse di masa kini telah terbukti merambah ke luar China sampai ke Korea, Jepang, Eropa dan Amerika.

Kemudian masih berpengaruh secara berkelanjutan pada tokoh pemikir berbagai bangsa di marcapada seperti Jasper, Sartre, Capra, Camus, Borges, Graham, Allan, Assandri, Baxter, Bokenkamp, Hatano, Ikeda, Wagner, Wang, Welch, Xiong, Liu, Xu, Yu, Lin dan lain-lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com