DI ERA digital seperti yang saat ini sedang kita rasakan muncul fenomena terkait dengan persoalan identitas.
Persoalan identitas sudah lama dikaji. Berbagai hasil penelitian masa lalu, mungkin juga sampai masa ini, banyak menunjukkan bagaimana identitas demikian penting dalam kehidupan sosial.
Identitas bukan hanya referensi relasional, tapi juga ekspresi sosial dan kultural yang melekat pada seseorang atau sekelompok orang ketika dia berhubungan orang lain.
Ada beragam ekspresi identitas yang muncul dalam kehidupan manusia. Salah satunya adalah yang melekat ketika dia sejak lahir, di mana identitas direferensikan dengan nama dan suku.
Dua hal ini, nama dan suku sebelumnya merupakan sesuatu yang given, atau tidak bisa ditolak. Tidak jarang bahkan nama-nama itu langsung mereferensikan posisi eksistensialnya dari kultur (dan bahkan wilayah) mana.
Sebagai contoh kita bisa menarik penyimpulan ketika ada seseorang bernama “Paijo” atau “Ngatinem”, biasanya jelas dari suku bangsa Jawa; sedangkan nama yang saya miliki “Tantan”, langsung diidentifikasi sebagai suku Sunda.
Namun kemudian identitas yang dilekatkan pada proses referensi kultural itu perlahan memudar seiring dengan banyak hal seperti: ruang relasional antarmanusia saat ini yang semakin luas.
Ketika orang Jawa yang menetap di pulau Sumatera, Kalimantan, bahkan Papua, misalnya, mereka kemudian meluaskan preferensi identitas itu menjadi nasional. Maka muncullah nama-nama khas Indonesia.
Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan bagaimana relasi seseorang tidak lagi pada medium ruang yang sempit atau kecil, tetapi justru lebih menasional.
Bahkan ketika apa yang disebut sebagai globalisasi terjadi, maka referensi identitas kultural yang sifatnya berbasis wilayah suatu bangsa akan memudar drastis. Sekarang nama-nama menjadi lebih global.
Bahkan kemudian nama-nama itu merupakan representasi dari satu identitas budaya baru yang merupakan sebagai bagian dari “warga dunia”.
Di era kehadiran dunia digital (atau era digital) saat ini, persoalan penamaan yang menunjukkan identitas lebih revolusioner lagi.
Di mana persoalan identitas ini larut di ruang kultural yang sifatnya virtual. Identitas-identitas itu kemudian tidak lagi direferensikan pada wilayah administratif tertentu. Karena tiap orang bisa berelasi dengan orang lain melampaui budaya, negara, agama, dan hal lain.
Contoh sederhana seorang Youtuber yang kemudian dikenal dengan kebiasaannya mengajak orang untuk ngobrol, chatting dan lain-lain, dia bisa berhubungan dengan orang-orang dari belahan negara lain dengan mudah dan bebas.
Di ruang itu, tidak sedikit mereka yang kemudian menggunakan nickname atau nama alias.