Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Emulsi Zat Makna Homonim

Kompas.com - 07/05/2023, 16:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DARI pengalaman babak belur setiap hari mewajibkan diri sendiri untuk menulis minimal sebuah naskah, terpaksa otak saya terus bekerja tanpa henti untuk mempelajari apapun yang masih bisa saya pelajari pada waktu yang setiap detik secara kodratis bergerak makin mendekati masa akhir hayat di kandung badan alias ajal.

Satu di antara yang kini sedang saya telaah adalah apa yang disebut oleh para ilmuwan bahasa sebagai homonim.

Pada hakikatnya homonim tidak ada urusan dengan seksual apalagi selama de facto kata seksual belum ada kata penggantinya secara tepat dan benar di dalam bahasa Indonesia.

Namun sudah jelas bahwa apa yang disebut sebagai homonim pasti bukan kata bahasa pribumi asli Indonesia sebab berasal dari bahasa Inggris, yaitu homonym.

Mari kita simak apa kata Kamus Merriam-Webster yang panjang lebar mengulas homonym yang agar tidak keliru lebih aman saya copas sebagai berikut:

Homonym can be troublesome because it may refer to three distinct classes of words. Homonyms may be words with identical pronunciations but different spellings and meanings, such as to, too, and two. Or they may be words with both identical pronunciations and identical spellings but different meanings, such as quail (the bird) and quail (to cringe). Finally, they may be words that are spelled alike but are different in pronunciation and meaning, such as the bow of a ship and bow that shoots arrows. The first and second types are sometimes called homophones, and the second and third types are sometimes called homographs—which makes naming the second type a bit confusing. Some language scholars prefer to limit homonym to the third”.

Dari ulasan kamus Merriam Webater yang memang lebih bergaya Amerika ketimbang Kamus Oxford yang Inggris banget, terkesan bahwa homonym lebih bisa ditelaah secara kompehensif dengan lensa kelirumologi dilengkapi bingungologi.

Gejala bingungologis sudah mulai terasa pada penggunaan kata “troublesome” pada kalimat awal sambil makin terasa pada kalimat terakhir ulasan kamus Merriam Webster yang sengaja direkayasa agar mengambang agar membingungkan atau sebaliknya membingungkan agar mengambang, yaitu “Some language scholars prefer to limit homonym to the third“.

Secara sintaksis kalimat keren mengandung enerji humorologis yang lincah membedakan humor Inggris dari humor Amerika meski sama-sama menggunakan bahasa Inggris di mana bukan mustahil bahwa Sri Begawan Filologi, Noah Chomsky sendiri rawan setuju atau minimal tidak menolak meski belum tentu peduli.

Sebagai pendiri Pusat Studi Kelirumologi, saya pribadi tertarik pada apa yang disebut sebagai homonim atau homograf atau homofon akibat keimanan spiritual-sekular subyektif saya sementara ini sedang berkeyakinan bahwa pemikiran manusia hanya mampu berfungsi selama ada yang namanya bahasa padahal bahasa mutlak butuh kesepakatan.

Sementara bahasa hanya bisa berfungsi apabila ditafsirkan dengan tafsir bahasa yang sama. Jika bahasa ditafsirkan dengan tafsir yang beda, maka rawan terjadi apa yang disebut sebagai miskomunikasi.

Memang miskomunikasi bisa berdampak biasa-biasa saja, namun juga bisa berdampak sangat buruk seperti terbukti pada kisah bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 akibat telegram kekaisaran Jepang yang menyatakan kesediaan berdamai dengan Amerika Serikat malah ditafsirkan oleh penerjemah bahasa Jepang staf presiden Truman sebagai penolakan mentah-mentah terhadap penawaran Amerika Serikat untuk menjalin genjatan senjata dengan Jepang.

Sama kelirunya tatkala delegasi Perhimpunan Konsumerisme Indonesia yang bersikeras menafsirkan konsumerisme sebagai perilaku konsumtif berlebihan merasa bingung ketika menghadiri Konferensi Konsumerisme Sedunia akibat panitia penyelenggara menafsirkan Konsumerisme dalam makna fitrah yang asli, yaitu gerakan melindungi kepentingan konsumen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com