Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Mengapa Deforestasi Harus Menjadi Musuh Masyarakat?

Kompas.com - 16/02/2023, 19:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KRISIS iklim akan mengganggu keberlangsungan hidup manusia di Bumi. Penyebab krisis iklim adalah pemanasan global. Pemanasan global dipicu produksi emisi karbon yang menimbulkan efek gas rumah kaca di atmosfer karena Bumi tak sanggup menyerap emisi karbon tersebut. Emisi karbon dihasilkan aktivitas ekonomi manusia untuk bertahan hidup dan mencapai kemajuan.

Para ilmuwan di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sepakat bahwa bencana iklim yang mengancam umat manusia akan terjadi jika kenaikan suhu bumi melebihi 1,5 C sebelum tahun 2024. Saat ini kenaikan suhu bumi sudah berada di 1,2 C dan dampaknya kian terasa.

Gelombang panas tanpa akhir di negara-negara belahan Bumi utara hingga hujan ekstrem yang menyebabkan 1/3 dari daratan Pakistan terendam banjir. Krisis iklim menambah parah bencana kelaparan. Sepuluh titik pusat krisis iklim terparah adalah Afganistan, Burkina Faso, Djibouti, Guatemala, Haiti, Kenya, Madagaskar, Nigeria, Somalia dan Zimbabwe.

Baca juga: Bahas UU Deforestasi, Indonesia dan Malaysia Kirim Utusan Minyak Sawit ke Uni Eropa

Penyebab terbesar adanya emisi karbon adalah alih fungsi hutan untuk kepentingan non kehutanan. Menurut data terakhir, sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48 persen berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan. Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21 persen, kebakaran 12 persen, limbah pabrik 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.

Penelitian Departemen Teknik Sipil di University of Hongkong dan Southern University of Science and Technology mendeteksi hilangnya karbon tropis selama dua dekade terakhir karena penggundulan hutan yang berlebihan. Kehilangan simpanan karbon hutan tropis di seluruh dunia naik 0,97 miliar ton per tahun pada 2001-2005 menjadi 1,99 miliar ton per tahun pada 2015-2019.

Alih fungsi hutan untuk kepentingan non kehutanan yang lebih dikenal dengan sebutan deforestasi menjadi sangat terkenal dan penuh kontroversi sejak digulirkannya COP 21 di Paris Perancis Desember 2015 yang menghasilkan Paris Agreement tentang pengendalian krisis iklim. Sebanyak 197 negara yang mengikuti COP 21 bersepakat untuk menstabilkan konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim.

Indonesia berkomitmen kepada dunia internasional dalam upaya pengendalian perubahan iklim global berupa penurunan emisi GRK dan mengatasi kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim melalui tindakan adaptasi perubahan iklim. Target Nationally Determined Contributions (NDC) dalam COP 21 di Paris (2015) , Indonesia akan menurunkan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 29 persen CMI melalui upaya sendiri dan 41 persen CMI melalui bantuan internsional.

Namun dalam COP 27 di Sharm El-Sheikh, Mesir (2022), target penurunan emisi GRK Indonesia pada 2030 diubah menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,2 dengan bantuan asing.

Aksi mitigasi perubahan iklim meliputi lima sektor yakni sektor kehutanan (CM1 17,2 n CM2 13 persen), sektor energi (CM1 11n CM2 14 persen), sektor limbah (CM1 0,38 n 1 persen CM2), sektor pertanian (CM1 0,32 n CM2 0,13 persen), sektor IPPU (CM1 0,10 n CM2 0,11 persen).

Penurunan emisi GRK di sektor kehutanan merupakan penurunan yang paling tinggi dibandingkan dengan empat sektor lainnya. Target kegiatan penurunan emisi GRK di sektor kehutanan meliputi penurunan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan lestari, peningkatan cadangan karbon dan peningkatan peranan konservasi.

Kontroversi Deforestasi

Secara sederhana pemahaman deforestasi dalam prakteknya di lapangan adalah berapa luas lahan kritis yang terjadi dalam kawasan hutan. Pokok persoalan yang menjadi kontroversi dan sering diperdebatkan selama ini adalah mengenai definisi atau pengertian tentang lahan kritis dalam kawasan hutan.

Saat bertugas di Dinas Kehutanan kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah tahun 2004, saya ketika mendampingi Bupati Katingan, sempat berdiskusi dan berdebat dengan seorang anggota Komisi IV DPR RI dari daerah pemilihan Provinsi Jambi, yang berkunjung kelokasi kegiatan rehabilatasi hutan dan lahan (RHL) di perbatasan antara Kota Palangkaraya dan wilayah Katingan.

Anggota DPR itu, tampak kaget dengan lokasi kegiatan RHL yang dikunjungi. Pasalnya, lokasi RHL yang dilihat adalah kawasan lahan yang hijau, ada semak belukar dan anakan kayu kayuan dari jenis yang tidak mempunyai nilai ekonomis karena tidak laku diperdagangkan.

Bayangan anggota Dewan itu, lahan kritis meski dalam kawasan hutan adalah kawasan lahan hutan yang gundul (tidak terdapat tanaman dan anakan kayu-kayuan), tampak warna tanahnya yang kuning akibat erosi, sebagaimana yang pernah dilihat dan dikunjunginya sebelumnya di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Baca juga: Indonesia Perlu Berbenah Hadapi Aturan Anti Deforestasi Uni Eropa

Sebagai rimbawan yang bergelut cukup lama di kegiatan RHL, saya jelaskan pengertian secara konvensional lahan kritis, baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan. Penjelasan saya, tampaknya diterima dengan baik dan anggota DPR itu berterima kasih karena baru kali itu mendapatkan penjelasan lahan kritis yang sifatnya clean dan clear.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com