Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhardis
PNS

Saat ini bekerja sebagai periset di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, BRIN

Artificial Intelligence dan Kepenulisan

Kompas.com - 14/12/2022, 11:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sore hari di taman kota. Angin yang lembut meniup-niup rambut ke pekerjaan menari di sekitar pohon-pohon. Anak-anak bermain di sekitar taman, tertawa dan bersorak. Seorang ibu sedang duduk di bangku membaca sebuah buku sementara anaknya berlari ke sekitar taman. Sekelompok teman-teman sedang bermain sepak bola di lapangan. Semuanya terlihat senang dan santai. Sementara itu, seorang pria tua sedang duduk di bawah pohon, menikmati keindahan sore hari. Semuanya terlihat damai dan indah di taman kota pada sore hari ini.”

Cerita tersebut dikarang (tanpa diubah sedikit pun) oleh asisten bahasa yang bernama Artificial Intelligence. Ya, dia di-elu-elukan dan digadang-gadangkan sebagai mesin pintar pengganti search engine yang lebih familiar di masyarakat.

Iseng, setelah login menggunakan akun Google, terbesit keinginan untuk mencicipi si asisten tersebut. Setelah mengetikkan “speak Indonesia” seperti saran Mas-Mas yang fyp di Tiktok, langkah selanjutnya ialah menugaskan si asisten dengan kata kunci “buat narasi 100 kata.”

Setelah dihitung, jumlah kata hanya 78. Saat dilakukan cek plagiasi didapatkan hasil 13 persen plagiasi dan sisanya unik.

Bagian yang teridentifikasi plagiasi ialah kalimat pembuka: sore hari di taman kota. Sumber terbesar, yakni 6 persen didapatkan dari instagram.

Dari kasus teks hasil buatan AI tersebut, kita dapat bercermin bahwa menulis bukanlah perkara sekadar menghasilkan kalimat-kalimat dalam beberapa paragraf.

Cermati cerita tersebut! Sekilas ceritanya memang menarik, bukan? Unsur 5w plus 1H memang hadir sebagai penciri sebuah teks.

Lantas, apa yang tidak dimilikinya?

Sebelum menjawabnya, kita dapat mengacu definisi teks narasi itu sendiri. Dulu, guru bahasa Indonesia menyampaikan bahwa narasi merupakan jenis teks imajinatif.

Pembaca seolah-olah ikut merasakan semua hal yang dialami tokoh terkait suasana, tempat, bahkan hal yang dirasakan tokoh.

Tidak dipungkiri teks narasi buatan AI memiliki beberapa hal tersebut. Namun, ada satu hal yang tidak dimilikinya, yakni kohesi-koherensi, alias kesatupaduan. Kita bisa menelusurinya melalui kata kunci “merasakan” sebagai penciri teks narasi.

Bacalah kalimat demi kalimat. Resapi kata-kata penyusunnya. Anda menemukan kejanggalan? Apa yang Anda rasakan?

Memang, kesatupaduan (setidaknya hingga saat ini) masih menjadi bagian dari tugas manusia yang tidak bisa dilakukan mesin.

Hal ini disebabkan mesin tidak memiliki akal sehat seperti manusia, sedikit berbeda dengan hasil wawancara Blake Lemoine dengan The Language Model for Dialogue Applications (Lamda) (Kompas.com, 27/07/22).

Berikutnya, masih dalam rangka menuntaskan hasrat yang hampir di ubun-ubun, kita coba menuliskan kata kunci “buat berita tentang Gibran Rakabuming Raka”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com