Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Penyebab Keterlibatan dan Intervensi Militer dalam Politik Indonesia

Kompas.com - 06/12/2022, 14:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT ini, banyaknya purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berkarir di bidang politik dan pemerintahan setelah pensiun, menegaskan kembali urgensi dari konsep netralitas TNI dalam ranah perpolitikan Tanah Air. Konsep ini sangatlah penting, guna menghindarkan personel TNI (yang masih aktif) sebagai alat pertahanan negara dari segala macam bentuk kepentingan politik, baik yang sifatnya datang dari pihak internal maupun eksternal.

Untuk memperdalam pembahasan terkait independensi politik TNI, sejarah bangsa Indonesia pasca kemerdekaan perlu kita telaah kembali. Keterlibatan militer dalam politik sejatinya telah termanifestasi pada awal-awal periode pasca-kemerdekaan Indonesia.

Jika menilik kembali ke masa-masa Revolusi Indonesia antara tahun 1945 hingga 1949, akan terlihat bahwa partai-partai politik pada masa itu saling memperebutkan pengaruhnya di dalam institusi militer negara. Di masa itu, para politisi dari berbagai partai percaya bahwa pengaruh kekuatan militer sangatlah penting dalam memperkuat pengaruh serta meraih tujuan politiknya.

Baca juga: Gerakan 30 September dan Salah Perhitungan Aidit - (Bagian 1 dari 3 tulisan)

Hal itu setidaknya tercermin selama terjadinya peristiwa pemberontakan Madiun tahun 1948 dan Gestapu PKI tahun 1965.

Tak heran, untuk menjaga profesionalitasnya, beberapa elite di tubuh militer berusaha untuk menjaga otonominya dengan tetap bersikap netral dan menghindarkan diri dari berbagai penguasaan pihak eksternal. Sikap ini ditunjukkan pula oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman pada masa kepemimpinannya.

Dalam sejarah TNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman tercatat tidak hanya beberapa kali hadir di berbagai rapat dan sidang kabinet, tetapi juga kerap kali bersedia melakukan pertemuan dengan kalangan oposisi pemerintah. Sebagai pemimpin organisasi tentara yang melihat dirinya murni sebagai kelompok pejuang bersenjata, Jenderal Sudirman dan para petinggi militer di masa itu senantiasa berusaha menghindar dan memposisikan dirinya di luar kepentingan kekuasaan partai politik.

Meskipun Jenderal Sudirman tidak pernah berbicara secara terbuka mengenai peranan politik tentara dalam lingkup negara, akan tetapi realitas menunjukkan bahwa tentara, bersama Soekarno dan berbagai partai politik, merupakan tiga pilar kekuatan politik yang konkret di Indonesia.

Tak hanya Panglima Besar Jenderal Sudirman, semangat untuk menjadikan TNI murni sebagai kekuatan pertahanan negara yang profesional juga ditunjukkan oleh para pemimpin-pemimpin TNI lainnya (seperti AH Nasution dan TB Simatupang), setidaknya hingga awal periode 1950-an saat terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952.

Dengan demikian AH Nasution, yang meskipun di kemudian hari mengusulkan perlunya militer mengambil peran dalam perpolitikan negara, pada awal periode 1950-an masih menunjukkan ketaatannya pada doktrin supremasi sipil.

Mengapa militer terlibat dalam perpolitikan?

Akar penyebab dari adanya intervensi militer di ranah pemerintahan, menurut Alexis de Tocqueville dalam bukunya yang berjudul Democracy and the Army, ternyata tidak bisa ditemukan dari internal institusi militer. Menurut Tocqueville, sumber permasalahan dari fenomena ini justru berakar dari masyarakat di suatu negara itu sendiri.

Bahkan, ilmuwan politik seperti Samuel P Huntington juga mengafirmasi pandangan ini. Dalam bukunya yang berjudul Political Order in Changing Society, Huntington mengemukakan bahwa masuknya militer ke dalam ranah politik tidaklah berbeda dengan keterlibatan mahasiswa, pemuka agama, buruh, petani, dan wanita dalam politik.

Hal itu menurutnya terjadi akibat lemahnya tingkat institusionalisasi suatu negara, yang kemudian membuat celah bagi berbagai kekuatan sosial untuk melakukan intervensi. Huntington menganggap kekuatan militer, hanyalah salah satu bagian di antara kekuatan sosial, seperti para mahasiswa, masyarakat kelas pekerja, dan para elite politik.

Amos Perlmutter dalam karyanya The Political Roles and Military Rulers, juga menyebut bahwa lemahnya pelembagaan dan struktur negara, ketidakmampuan pengaruh masyarakat kelas menengah, dan pertentangan antar kelompok, dapat mempermudah masuknya intervensi militer ke dalam ranah politik.

Baca juga: Wacana Usang Menghidupkan Dwifungsi ABRI

Pernyataan Perlmutter sekaligus mengelaborasi gagasan Tocqueville dan Huntington, serta menyebabkan kemungkinan suatu negara berubah menjadi negara pretorian, dimana militer memungkinkan untuk dapat selalu mengambilalih kekuasaan dari tangan pemimpin sipil.

Gavin Kennedy dalam bukunya The Military and the Third World, menyebut bahwa intervensi militer di ranah politik sipil dipengaruhi oleh ada atau tidaknya legitimasi. Menurut dia, krisis legitimasi dapat memperbesar peluang bagi militer aktif untuk masuk ke ranah politik, sebagai akibat dari ketidakmampuan para elite untuk menyelesaikan permasalahan politik domestik.

Dalam buku Ini Bukan Kudeta: Reformasi Militer Indonesia, Mesir, Thailand, dan Korea Selatan, Salim Haji Said juga menambahkan bahwa keterlibatan politik militer di Indonesia lebih disebabkan kepada adanya masyarakat yang terpecah-pecah (fragmented society). Salim berpendapat bahwa masyarakat yang fragmented adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai kelompok dan golongan, yang justru gagal percaya satu sama lain dan tidak menemukan kesepakatan dalam hal mengelola permasalahan negara.

Bagaimana dengan pengalaman Indonesia?

Bila kita elaborasikan berbagai pendapat para ahli tersebut dengan fenomena politik di Tanah Air, maka ditemukan bahwa justru masyarakat Indonesia sendirilah yang membuka celah bagi militer untuk masuk dalam ranah politik dalam negeri, sekaligus menggolongkannya dalam masyarakat pretorian.

Pada masa demokrasi parlementer tahun 1950-an, rata-rata usia kabinet hanya berjalan selama delapan bulan, dan mengakibatkan tidak berjalannya berbagai program pemerintahan. Berbagai konflik di segala penjuru Indonesia juga melemahkan legitimasi kepemimpinan sipil negara saat itu, sehingga mulai muncul gagasan dari AH Nasution untuk memberdayakan tentara di luar tugas-tugas bidang pertahanan.

Gagasan itu juga mendapat legitimasi dari Soekarno, dengan memasukkan TNI dalam kelompok Angkatan Karya di dalam tubuh Golongan Karya. Lemahnya dominasi sipil justru diperparah dengan peristiwa gagalnya kudeta G30S PKI.

Kondisi pemerintahan sipil yang kacau balau pasca kudeta membuat TNI bertahan sebagai satu-satunya kekuatan politik yang dominan. Hal inilah yang menjadi cikal bakal berjalannya pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan militer menjadi langgeng hingga 32 tahun lamanya.

Maka dari itu, kunci utama untuk mencegah kembalinya dominasi politik militer di masa depan ada pada supremasi sipil. Dua tahun pasca-reformasi, kewenangan legal militer di bidang politik akhirnya ditanggalkan. Langkah ini sebenarnya disadari oleh para petinggi TNI di waktu itu bahwa sejatinya konsep dwifungsi hanyalah alat bagi pelanggengan kekuasaan orde baru.

Reformasi merupakan sebuah proses untuk mengembalikan legitimasi kekuatan rakyat sipil dalam pemerintahan. Reformasi juga berhasil menyatukan berbagai golongan masyarakat yang sebelumnya fragmented, menjadi senasib sepenanggungan.

Di Indonesia, reformasi merupakan momentum kembalinya supremasi sipil tersebut, serta menjadi titik tolak kembalinya TNI menjadi tentara professional. Perlu diingat bahwa ujung tombak dari supremasi sipil adalah masyarakat itu sendiri.

Walau hingga saat ini TNI merupakan institusi yang paling mendapat kepercayaan oleh masyarakat, agaknya masyarakat harus sadar betul bahwa kepercayaan politik yang lebih dominan tetap harus berada di kalangan sipil.

Dengan memberikan kepercayaan yang dominan kepada kepemimpinan politik sipil, masyarakat secara tidak langsung memberikan jalan bagi TNI dan eksponennya untuk tetap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai pelindung kedaulatan negara, sekaligus tidak menggugah ambisi personel militer aktif untuk engage dalam politik kekuasaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Tren
Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Tren
Menakar Peluang Timnas Indonesia Vs Guinea Lolos ke Olimpiade Paris

Menakar Peluang Timnas Indonesia Vs Guinea Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?

Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?

Tren
Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com