KEPUTUSAN Kongres Pemuda kedua pada 27 – 28 Oktober 1928 di Batavia, terpampang dengan jelas perihal sebagai berikut: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia ; Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Penekanan yang sangat gamblang terhadap tanah air, bangsa, dan bahasa jelas sekali memberikan wawasan kebangsaan yang sangat kental dalam memaknai impian dari tekad perjuangan sebagai warga negara Indonesia yang ingin merdeka.
Landasan inilah yang seyogyanya tetap dan kekal mewarnai Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan sekaligus menjadi basis bagi pagar penjaga ketahanan nasional.
Tidak terasa sumpah itu telah berlalu selama 94 tahun, jauh lebih tua dari usia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sendiri yang baru di proklamirkan tahun 1945. Di sinilah istimewanya sumpah pemuda yang sudah merupakan tonggak dari sebuah kebulatan tekad para pemuda yang memimpikan kemerdekaan bagi bangsanya.
Baca juga: Sumpah Pemuda Lahir dari Kos-Kosan, Begini Sejarah Gedungnya
Dalam perjalanannya kemudian, tantangan ke depan yang akan dihadapi Indonesia semakin hari akan semakin berat. Laju kemajuan teknologi berjalan sangat cepat yang ditandai dengan berkembang luasnya arus informasi dan jaringan komunikasi antar bangsa.
Batas negara secara fisik telah dengan mudah ditembus yang berakibat membawa pengaruh yang besar dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Perkembangan sosial politik budaya menembus batas adat dan kebiasaan tata perilaku tradisional setiap negara.
Pemahaman tentang nasionalisme berhadapan langsung dengan internasionalisme. Dunia memang terus berkembang dalam relung rongga yang seolah harus menyatu, kemudian dikenal dengan arus globalisasi.
Sejak selesainya Perang Dunia Kedua, tidak dapat dihindari berkembangnya arus keras secara internasional dari setiap bangsa untuk bersatu padu menuju dunia yang aman dan sejahtera. Sebuah fenomena yang sangat logis muncul sebagai akibat panjang penderitaan umat manusia karena perang dunia.
Muncul aneka organisasi Internasional yang dimulai dengan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Sayangnya tidak lama berlangsung muncul kemudian era perang dingin yang seakan membelah dunia menjadi dua bagian besar antara NATO dan Pakta Warsawa. Perkembangan yang terjadi kemudian adalah semakin dekatnya hubungan bangsa-bangsa terutama di Eropa dengan format Uni Eropa atau European Union.
Sementara itu Indonesia sendiri berusaha memosisikan diri untuk tetap netral, mulai dari memelopori organisasi Asia-Afrika yang pada intinya berjuang untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sampai dengan terbentuknya kelompok negara non-blok dan New Emerging Forces pada era perang dingin.
Sementar itu Asia Tenggara berkembang dengan organisasi kawasan regional yang dikenal dengan ASEAN.
Tahun 2020, Uni Eropa mulai ditinggalkan oleh Kerajaan Inggris dengan Brexit-nya, sementara sebelum itu Amerika Serikat (AS) di era pemerintahan Donald Trump mempromosikan politik “American First”. Hal ini memperlihatkan mulai bergesernya internasionalisme yang kembali ke pemahaman nasionalisme.
Gejolak selanjutnya yang timbul akhir-akhir ini adalah terjadinya perang di Eropa antara Rusia dan Ukraina. Friksi yang masih merupakan sisa-sisa dari era perang dingin antara NATO dan Pakta Warsawa. Itulah semua pergolakan global yang kita saksikan bersama belakangan ini.
Baca juga: Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober: Sejarah, Tema, Logo, dan Link Twibbon
Bila kita melihat lingkungan strategis di kawasan Pasifik, maka jelas terlihat gejolak lain dari persaingan keras antara AS dengan China yang baru bangkit sebagai kekuatan ekonomi dunia baru. Persaingan yang kemudian mengantar kepada kancah US-China Trade War.