PROPAGANDA merupakan terminologi memanipulasi informasi publik. Dalam periode sebelum era teknologi informasi dan digitalisasi media, medium propaganda yang digunakan adalah media konvensional, dalam hal ini media cetak, televisi, dan radio.
Istilah itu merujuk pada sejumlah kajian, yang paling popular adalah riset yang dibubukan oleh Eward Herman dan Noam Chomsky.
Beberapa karya tulis mereka yang membahas propaganda menjadi bacaan utama dalam studi komunikasi dan sosiologi media.
Beberapa karya Chomsky yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris seperti Menguak Tabir Terorisme Internasional. Bandung: Mizan, 1991, Media Control The Spectaculer Achieveent of Propaganda. Operan Media, 1997, Pirates and Emperors Old and New International Terrorism in the Real World. 2nd ed. London: Cambridge, MA?: South End Press, 2002, Politik Kuasa Media (The Media Control: The Spectaculer Achievements of Propaganda). ed. AN Mansyur. PINUS Book Publisher, 2006, Neo Imperalisme Amerika Serikat. ed. Dian Yanuardy. Yogyakarta: Resist Book,2008. Kemudian karya monumental Edward S Herman, Noam Chomsky, Manufacturing Consent the Political Economy of the Mass Media. New York: Pantheon Books, 2002.
Substansi kerja propaganda dalam terminologi Herman dan Chomsky maupun laporan Samantha Bradshaw, dkk bertajuk Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation dan The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, adalah memanipulasi informasi atau opini publik.
Baca artikel sebelumnya: Bahar dan Ruang Publik Acakadut!
Penekanan Herman dan Chomsky, strategi manipulasi informasi publik menggunakan media konvensional, umumnya dilakukan oleh pemerintah.
Metode kerja memanipulasi informasi atau opini publik dikenal dengan sebutan newspeak, yaitu strategi media atau yang mengendalikan media dalam bekerja untuk melayani elite dominan yang mengontrol media (pemodal, pengiklan, sumber berita, pemilik media).
Pemerintah dan partai politik bisa masuk tiga pihak, yaitu pemodal, pengiklan/pemberi subsidi media, dan sumber berita.
Dalam pola propaganda tradisional itu, strategi media melayani dengan melakukan konstruksi fakta sosial dalam kerangka berpikir biner sekaligus kontradiktif, yaitu informasi yang layak atau korban yang layak dan informasi atau korban yang tidak layak (worthy-unworthy victim) untuk mendapat atau tidak mendapat tempat di media.
Kategorisasi tersebut bukan didasarkan standar objektif tentang layak atau tidak layak informasi yang diproduksi, melainkan ukuran kepentingan bagi elite politik dan agen kekuasaan (Edward S Herman 2002, 37).
Baca artikel sebelumnya: Bahar dan Pasukan Siber
Aktor dalam komputasi kegiatan propaganda di media sosial lebih spesifik disebut pasukan siber atau agensi pemerintah atau agensi partai politik.
Namun seperti propaganda konvensional, pemerintah negara tertentu atau partai politik tertentu masih mengendalikan media konvensional.
Para era informasi digital saat ini, mereka juga memanfaatkan media berbasis internet (daring/online media/media sosial) untuk propaganda mereka.