Serial Hari Ibu
ENTAH salah belok di mana, sejarah manusia dari masa ke masa hingga hari ini masih saja menyisakan pekerjaan rumah alias PR tentang kesetaraan perempuan. Ini enggak spesifik kasus di Indonesia, sebenarnya.
Namun, momentum peringatan Hari Ibu adalah waktu yang tepat untuk sedikit berkaca. Bahkan pada era yang katanya modern, kesenjangan laki-laki dan perempuan masih terus terjadi dalam banyak wajah.
Sebelum membahas itu, peringatan Hari Ibu di Indonesia pun semakin hari lebih mendekati pemaknaan Mother's Day di negeri nun jauh di mata sana. Padahal, beda.
Baca juga: Beda Hari Ibu di Indonesia dan Negara Lain
Sejarah Hari Ibu di Indonesia lebih kental nuansa pergerakan dan kesetaraan perempuan dibanding bobot pengungkapan kasih sayang pada Mother's Day di luar negeri.
Enggak salah juga mengungkapkan kasih kepada para ibu di Hari Ibu. Namun, ada makna lebih luas yang patut diingat dan dihidupkan kembali dalam peringatan Hari Ibu.
Alasan kesetaraan perempuan masih kerap jauh panggang dari api—bahkan arti kesetaraan sering salah dipahami—bisa sangat beragam dan teramat luas spektrumnya. Debat kusir gampang terjadi juga karenanya.
Tulisan ini enggak akan menjebakkan diri dalam debat kusir tadi. Bila boleh meminta, telusuri kembali saja apa pun argumentasi yang kerap diucap yang mungkin tidak disertai data dan dasar akurat soal posisi dan peran perempuan dalam kehidupan. Mungkin.
Baca juga: Pergerakan, Makna yang Sering Terlewat dari Peringatan Hari Ibu
Daripada debat kusir, menyimak cerita nyata adalah hal yang mungkin lebih bisa kena di hati. Semoga dekat pula dengan kenyataan keseharian, lalu menjadi inspirasi untuk terus menjadi lebih baik lagi.
Menjadi perempuan Indonesia dalam kultur komunal, budaya yang nyaris menjadi kebenaran tunggal, sekaligus tantangan kenyataan hari ini, sedikit banyak tergambar dari kisah hidup Retno Lestari Priansasi Marsudi.
Betul, perempuan pertama Indonesia yang menjadi Menteri Luar Negeri dan kini msih menjalani periode kedua jabatannya.
Sekitar menit kesembilan dari video di atas, Retno berkisah tentang dunia diplomasi yang dia jalani hingga hari ini. Dia sodorkan fakta dari komposisi laki-laki dan perempuan dari masa ke masa di kementerian dan bidang keahliannya itu.
Baca juga: Profil Retno Marsudi: Nobody, Anak Gunung, dan Perempuan Pertama Jadi Menlu Indonesia
Retno memberikan pula tentang gambaran situasional yang dia hadapi sendiri sebagai perempuan diplomat sekaligus ibu tanpa kehadiran asisten rumah tangga pada suatu masa. Bagi para ibu sekaligus perempuan karier, ini pasti hal-hal yang teramat akrab di keseharian.
Di pengujung kisah, Retno menyemangati para perempuan, termasuk diplomat-diplomat perempuan di kementeriannya, menjadi perempuan yang menjalani karier sekaligus melaksanakan kodrat keibuan memang tidak mudah tetapi bisa.
Perempuan sekaligus ibu yang atas pilihan dan keputusan sendiri atau tersebab kondisi yang membuatnya harus menjadi perempuan karier, harus diakui memang punya beban lebih berat dibanding laki-laki sekalipun juga seorang ayah.
Kita bisa bilang betapa hebat Retno Marsudi ini setelah menyimak kisahnya. Namun, fakta baru-baru ini bahkan tak memasukkan Retno dalam daftar top-top-an yang mana pun, baik di tataran nasional maupun internasional.
Sri Mulyani, teman Retno dari SMA, sebaliknya selalu ada dalam daftar-daftar itu. Padahal, Sri Mulyani bila ditanya pun mungkin akan mengakui dahwa dalam capaiannya hingga kini—apalagi bila terkait urusan internasional—akan ada jejak Retno bersamanya.
Pun soal pandemi Covid-19. Tanpa Retno, akses bagi pemenuhan vaksin pun mungkin butuh jalan lebih panjang dan memutar. Ada banyak lagi. Namun, itulah ironi dari kenyataaan kehidupan.
Apakah Retno lalu mutung? Rasanya tidak.
Mari dibalik. Meski tidak selalu populer di pemeringkatan, Retno dan kisahnya membuktikan bahwa perempuan punya peluang dan kemampuan sama besar dengan laki-laki untuk menjadi sesuatu.