SIAPA yang tidak menyukai musik? Hampir setiap hari kita mendengarkan musik dalam berbagai kesempatan. Kebanyakan orang menikmati musik untuk berbagai alasan, mulai dari hanya sekadar menghilangkan stres hingga mengisi waktu luang.
Sebagai salah satu artefak kultural non benda, musik merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban yang selalu tidak pernah lekang oleh waktu dan terus berevolusi seturut perkembangan zaman.
Musik melalui kekuatan liriknya memiliki kemampuan untuk mengekspresikan perasaan, keindahan, serta pengalaman sosial pengarangnya sehingga tidak jarang orang yang menyukai lagu tertentu merasa bahwa ia memiliki kenangan tersendiri yang terwakili oleh lirik lagu tersebut.
Oleh karena itu, melalui lirik yang dilekatkan dalam sebuah lagu kita sebenarnya dapat membaca perilaku sosial secara psikologis serta fenomena sosial-budaya karena salah satu alasan mengapa suatu produk seni disukai masyarakat adalah bukan hanya keindahan bunyinya saja, tapi juga liriknya yang merepresentasikan suatu kondisi sosial tertentu. Ini sekaligus menjadi alasan kuat mengapa musik terus bertahan hingga saat ini.
Sama halnya dengan karya sastra, lirik lagu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bahasa puisi, atau puisi pendek yang mengekspresikan emosi. Seperti termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 528), lirik lagu merupakan karya puisi yang dinyanyikan.
Bahasa pada lirik lagu mengikuti kaidah puisi yang memiliki unsur emotif melalui bunyi dan kata. Selain itu, untuk memperoleh kesan tertentu seperti puisi, bahasa lirik lagu juga bersifat ringkas dan sarat makna yang tampak dari kreativitas pemilihan diksi dari penyairnya.
Terlepas dari kemampuannya untuk menghibur, musik juga dapat berbahaya dan bersifat politis-ideologis. Bagaimana bisa?
Melalui kekuatan diksi dalam liriknya, musik memuat agenda dan tujuan tertentu, bahkan ia bisa menjadi sarana kritik sosial.
Secara teoritis, musik merupakan salah satu wujud dari budaya populer, yang dalam bahasa Raymond Williams (1983), diproduksi sekaligus dikonsumsi oleh banyak orang.
Kemampuannya untuk menjangkau khalayak dengan cara yang cepat dan masif ini kerap dimanfaatkan oleh beberapa pelaku seni musik untuk menyampaikan pesan tertentu kepada pendengarnya.
Dominic Strinati (1995) dalam An Introduction to Theories of Popular Culture berpendapat bahwa budaya populer memiliki beragam definisi dan peran dalam kebudayaan. Salah satu yang menarik adalah ia memiliki peran ideologis yang secara potensial berperan sebagai salah satu bentuk kontrol sosial yang kerap digunakan oleh rezim politik sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan kekuasaannya.
Namun, di sisi lain budaya populer juga memiliki potensi untuk melawan segala bentuk hegemoni karena dalam pandangan kritis. Barker (2004) mengatakan bahwa budaya populer merupakan arena persetujuan atau resistensi dalam perjuangannya melawan pemaknaan budaya (cultural meanings).
Artinya, segala bentuk perlawanan terhadap rezim kekuasaan atau hegemoni budaya dimungkinkan melalui budaya populer. Dalam hal ini, musik sebagai artefak budaya populer juga bisa bersifat ideologis dan hadir sebagai bentuk resistensi.
Dalam konteks Indonesia kita dapat melihat bagaimana musik berperan sebagai sarana kritik sosial terhadap suatu rezim politik tertentu melalui karya-karya musisi legendaris Iwan Fals.
Siapa yang tidak mengenal Iwan Fals dan lagu-lagunya yang sangat populer di kalangan masyarakat pada era 70-an hingga saat ini. Selain kekuatan vokalnya yang khas, lirik dalam lagu-lagu Iwan Fals sarat akan kritik sosial terhadap rezim politik tertentu.