COVID-19 adalah pandemi yang nyaris melumpuhkan dunia sekarang. Clear and present danger. Segala hajatan besar, semisal olimpiade, kompetisi liga sepak bola, semuanya, apa boleh buat, harus ditunda. Termasuk ibadah haji tahun ini, ditiadakan.
Masalahnya, Covid-19 menyebar ke mana-mana melalui interaksi manusia. Segala bentuk kesopan-santunan atau simbol interaksi, seperti jabat tangan, berangkulan dan ciuman, harus dinihilkan dulu. Mengobrol dekat pun dilarang.
Pendeknya, hidup menjadi renggang. Seluruh pemerintahan di dunia menganjurkan rakyatnya untuk menjauh dari keramaian, menghindari kerumunan, bahkan berdiam di rumah berpekan-pekan lamanya.
Ironinya, hingga kini, vaksin pencegahan dan obat penyembuhan, belum ditemukan untuk dipakai secara massal.
Maka, satu-satunya yang dapat dilakukan umat manusia adalah berusaha memutus mata rantai penularan virus dengan cara menjaga jarak satu dengan yang lain, hidup dengan gaya hidup sehat, dan menjaga imunitas tubuh.
Sekolah-sekolah diliburkan, kantor-kantor ditutup dan para pegawai bekerja dari rumah, bahkan umat beragama kini diminta untuk beribadah di rumah. Semua berpacu dengan waktu.
Sayangnya, segala imbauan untuk menghindari kerumunan dan menjaga jarak itu tidak selamanya dapat diterapkan.
Di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan), misalnya, bagaimana mungkin menjaga jarak di ruang-ruang tahanan dan lembaga pemasyarakatan kelebihan penghuni?
Kini di seluruh negeri, rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan kita sedang dihuni lebih 170 ribu orang, sementara kapasitas hanya sekitar 90 ribu orang.
Karena itu, di tengah pandemi Covid-19, penjara jadi tempat yang sangat berisiko. Ada banyak penjara yang tak layak huni lantaran kelebihan kapasitas. Physical distancing mustahil diterapkan.
Tak heran jika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak pemerintah-pemerintah negara di dunia untuk membebaskan narapidana berisiko rendah.
Itulah sebabnya, Jerman, Iran, Kolombia, Italia, Turki, dan negara-negara lain serentak memilah para narapidana dan membebaskan mereka demi menekan laju penularan Covid-19.
Di Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Surat Keputusan Menkumham itu segera diikuti dengan pembebasan lebih dari 38.000 narapidana yang memenuhi syarat dari berbagai lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.
Syaratnya: telah menjalani 2/3 masa pidana pada 31 Desember 2020 mendatang bagi narapidana dan telah menjalani 1/2 masa pidana pada 31 Desember 2020 mendatang bagi anak.