JAKARTA, KOMPAS.com - Masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 telah memasuki tahun terakhir.
Hari ini, Senin (30/9/2019), merupakan sidang paripurna terakhir DPR periode ini.
Kinerja para anggota dewan menjadi sorotan, terutama mengenai berbagai kontroversi yang terjadi dalam perjalanan lima tahun ini.
Terakhir, lembaga legislatif ini mendapatkan protes keras karena "ngebutnya" pembahasan revisi UU yang dianggap krusial, seperti UU KPK dan sejumlah rancangan undang-undang yang akan disahkan.
Protes ini pun berkembang menjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah.
Selain itu, selama lima tahun terakhir, DPR mencatatkan sejumlah kontrversi lain sejak awal perjalanannya pada 2014.
Apa saja?
Kegaduhan di tubuh DPR sudah terjadi sesaat setelah dilantik, 1 Oktober 2014.
Kala itu, dua kubu di parlemen yakni Koaliasi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih memperebutkan kursi Pimpinan DPR dan Alat Kelengkapan Dewan.
Dalam sidang paripurna yang dipimpin anggota tertua DPR, Otje Popong Djunjunan, para anggota KIH mengajukan protes mengenai sistem pemilihan pimpinan secara paket dan bukan sesuai perolehan suara tertinggi saat pemilihan legislatif.
Namun, protes para anggota KIH tidak diterima.
Baca juga: Hasilkan 84 UU, Kinerja DPR Dinilai Kalah Jauh dari Periode Sebelumnya
Akhirnya, mereka walk out dan memutuskan tidak bertanggung jawab terhadap hasil paripurna.
Hal ini kemudian membuat Popong akhirnya mengesahkan lima pimpinan DPR yang diusung KMP, yakni Setya Novanto (Golkar), Fadli Zon (Gerindra), Fahri Hamzah (PKS), Agus Hermanto (Demokrat), dan Taufik Kurniawan (PAN).
Keputusan tersebut membuat KIH membentuk DPR tandingan.
Situasi ini berlangsung selama dua bulan hingga akhirnya pada November, KIH dan KMP sepakat meneken kesepakatan damai.
Namun, dalam kesepakatan itu, KIH mendapatkan satu kursi pimpinan di setiap komisi dan AKD.
Kesepakatan ditandatangani oleh Hatta Rajasa dan Idrus Marham (KMP) serta Pramono Anung dan Olly Dondokambey (KIH).
Isu uang pensiun bagi anggota DPR memicu kontreversi menjelang berakhirnya periode jabatan eksekutif dan legislatif pada Oktober 2019.
Adapun uang pensiun akan tetap diberikan meski anggota Dewan hanya menjabat selama satu periode atau lima tahun.
Uang pensiun anggota DPR yakni 60 persen dari gaji pokok setiap bulan yang nantinya disesuaikan dengan jabatan yang dipegang.
Pemberian dana pensiun bagi anggota Dewan dinilai tidak diperlukan mengingat kinerja lembaga yang tidak memuaskan.
Baca juga: Dana Pensiun Anggota DPR Mengalir Seumur Hidup
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, anggota Dewan tidak layak mendapatkan fasilitas ini dari negara, apalagi untuk seumur hidupnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.