KOMPAS.com - Diego Armando Maradona tak hanya dikenang sebagai pemain legendaris di Argentina. Pria yang baru tutup usia pada umur 60 tahun tersebut juga pernah menukangi timnas Tango di Piala Dunia 2010.
Diego Maradona menghembuskan nafas terakhir di rumah yang tengah ia tinggali di Tigre, sedikit di luar Buenos Aires pada Rabu (25/11/2020).
Dari sekian banyak warisan yang Maradona tinggalkan bagi sepak bola Argentina, salah satunya adalah saat ia menjadi nakhoda timnas Tango di Piala Dunia 2010.
Namanya akan selalu dikenang sebagai pelatih Argentina di Piala Dunia pertama yang bergulir di daratan Afrika tersebut.
Ini merupakan puncak karier Diego Maradona sebagai pelatih mengingat sebelum dan sesudah itu ia hanya menangani beberapa klub gurem di berbagai negara Amerika Latin.
Baca juga: Laporan Awal Forensik Tentukan Penyebab Meninggalnya Diego Maradona
Maradona menggantikan Alfio Basile yang mengundurkan diri setelah tim Tango kalah lawan Chile di Kualifkasi Piala Dunia 2010 pada 2008.
Maradona ditugasi untuk membawa tim yang duduk di peringkat ketiga klasemen Kualifikasi Piala Dunia Zona CONMEBOL untuk lolos ke Afrika Selatan.
Tugasnya susah-susah gampang mengingat ada empat tim yang berhak lolos otomatis ke Piala Dunia dnegan satu tim sisa menjalani playoff antarkonfederasi.
Ia pun punya tujuh laga tersisa untuk memastikan kelolosan itu.
Diego Armando Maradona mengawali petualangannya sebagai nakhoda dengan kemenangan 1-0 atas Skotlandia di Hampden Park, Glasgow, pada November 2008.
Gol tunggal kemenangan dicetak oleh Maxi Rodriguez.
Baca juga: Mengenang Diego Maradona, Pernah Bobol Gawang Indonesia Dua Kali
Maradona lalu membawa Argentina menang 2-0 atas Perancis lewat gol-gol dari Jonas Gutierrez dan Lionel Messi pada Februari 2009.
Akan tetapi, kemunduran dirasakan oleh sang pelatih saat tim Tango beraksi di kualifikasi Piala Dunia.
Argentina merasakan kekalahan mencolok 1-6 saat bertandang ke Bolivia pada 1 April 2009.
"Setiap gol Bolivia terasa seperti tusukan belati ke jantung saya," ujar Diego Maradona setelah kekalahan di ketinggian La Paz, ibu kota Bolivia, tersebut.