Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Antisipasi “Overpopulasi” Planet Bumi

Kompas.com - 25/11/2022, 09:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DARI New York City, Amerika Serikat (AS), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberi nama hari Selasa 15 November 2022: Day of Eight Billion. Hari itu disebut ‘Hari 8 Miliar’ penduduk planet Bumi.

Jumlah itu ibarat sinyal risiko. “Let’s talk overpopulation,” kata Matthew Selinske et al. (2022). Pada Oktober 2011, penduduk Bumi baru mencapai 7 miliar jiwa, dan Oktober 1999 berkisar 6 miliar jiwa. Hanya beberapa tahun, terjadi ledakan penduduk Bumi.

Bagaimana peta risiko ‘overpopulasi’ dunia kini dan ke depan? Dari Vienna, Austria, International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) tahun 2018 merilis data dan kajian tren penduduk dunia tahun 2100, yakni 9,5 miliar jiwa.

Baca juga: Populasi Global Mencapai 8 Miliar, Apa Dampaknya pada Kehidupan?

Sementara PBB tahun 2022 merilis perkiraan penduduk Bumi sekitar 10,4 miliar jiwa tahun 2100. Proyeksi itu lebih kecil dari perkiraan PBB tahun 2017, yaitu berkisar 11,2 miliar jiwa.

Kita lihat tren ledakan penduduk 50 tahun terakhir terjadi di zona India. Penduduk India hanya 369,881 juta jiwa tahun 1950. Namun tahun 2020 berkisar 1,3 miliar (UN, 2020).

Penduduk Indonesia tahun 1950 mencapai 82,9 juta dan menjadi 270,2 juta jiwa tahun 2020 atau bertambah 32,5 juta jiwa dari tahun 2010.

Penduduk Tiongkok berjumlah 562,580 tahun 1950 dan menjadi 1,4 miliar tahun 2020 (UN, 2020). Namun, PBB memperkirakan bahwa pertumbuhan di Tiongkok slower rate atau lamban di masa datang (David Adam/Nature, 15/11/2022).

Apakah ‘overpopulasi’ berisiko menggerus daya-sangga (carrying capacity) ekosistem planet Bumi kini dan masa datang? Riset dan kajian Matthew Selinske et al. (2022) menyebutkan bahwa overpopulasi bukan isu sentral dari perubahan iklim akhir-akhir ini.

Alasannya, penduduk negara kaya-industri sekitar 1 persen melepas sekitar 15 persen emisi karbon di Bumi. Jumlah itu kira-kira dua kali lipat dari total emisi karbon dari sekitar 50 persen penduduk dunia atau 4 miliar jiwa asal negara-negara miskin.

The poorest 50 percent of the planet – who are the most vulnerable to climate change,” papar Selinske et al. (2022).

Selinski et al. menyebut contoh. Pangeran William, misalnya, cemas bahwa lonjakan pertumbuhan penduduk memicu risiko kepunahan wildlife di Afrika. Namun, tulis Selinski et al, “He has three children and comes from a family with a carbon footprint almost 1,600 times higher than the average Nigerian family.”

Jadi, jejak karbon penduduk kaya di negara industri, berkisar 1.600 kali lebih tinggi dari penduduk miskin di Afrika. Ini bukan termasuk risiko nyata akibat overpopulasi, tapi akibat pola dan gaya hidup.

Tren tahun 1950-2100

Sejak tahun 1950, jejak lonjakan penduduk Bumi terjadi di zona Asia dan Afrika. Karena itu, Asia dan Afrika membutuhkan antisipasi risiko overpopulasi. Demikian menurut Komisi Eropa dari Brussels, Belgia, dalam laporan khusus ‘The 2015 Ageing Report’.

Penduk Asia naik tiga kali lipat tahun 1950-2015, dari 1,4 miliar jiwa menjadi 4,4 miliar jiwa. Maka sepanjang abad 21, Asia masih menjadi zona penduduk paling banyak.

Penduduk Asia bakal mencapai 5,3 miliar tahun 2060 dan mungkin berkurang hingga 4,9 miliar jiwa tahun 2100 (European Commission, 2014).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com