KOMPAS.com - Calon wakil presiden nomor urut 1Muhaimin Iskandar menyebutkan, setidaknya 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan untuk bayar utang luar negeri.
Hal tersebut disampaikan Muhaimin dalam debat cawapres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta Convention Center (JCC) pada Jumat (22/12/2023) malam.
"Sekarang saja prosentasi 3.000 triliun APBN aja untuk membayar utangnya cukup tinggi. Sehingga mengurangi tidak kurang dari 20 persen APBN kita untuk membayar utang luar negeri," kata Muhaimin.
Peneliti Think Policy Indonesia, Alexander Tjahjadi, mengutip publikasi Katadata, yang menyebutkan 20,8 persen dari APBN 2022 dialokasikan untuk membayar bunga utang.
Alexander menjelaskan, bunga utang adalah biaya yang harus dibayarkan oleh pemerintah atas pinjaman yang telah diambil, baik dari dalam maupun luar negeri.
"Sehingga bukan (hanya) utang luar negeri, tetapi juga dari dalam negeri," kata Alexander.
Ia mengatakan, pembayaran ini merupakan kewajiban yang timbul karena menggunakan pinjaman untuk membiayai berbagai kegiatan dan proyek pembangunan, dan besarnya bunga ditentukan oleh suku bunga pinjaman serta jumlah total utang yang ada.
Sementara itu, porsi pembayaran bunga utang dalam komponen belanja pemerintah pusat di APBN terus melonjak signifikan selama lima tahun terakhir, dikutip dari Kompas.id.
Pada 2019, porsi pembayaran bunga utang pemerintah masih Rp 275,5 triliun. Jumlah itu meningkat menjadi Rp 314 triliun pada 2020, dan naik menjadi Rp 343,4 triliun pada 2021.
Kemudian, meningkat ke Rp 386,3 triliun pada 2022, lalu melonjak ke Rp 437,4 triliun pada outlook 2023, dan kini ditargetkan mencapai Rp 497,3 triliun pada RAPBN 2024.
Belanja bunga utang pada 2024 mencakup 20,3 persen dari total belanja pemerintah pusat senilai Rp 2.446,5 triliun.
Rinciannya, pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 456,8 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri Rp 40,4 triliun.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan, kenaikan beban bunga utang yang signifikan tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi dari pembiayaan utang yang membengkak selama pandemi.
Namun, ia menilai bertambahnya beban biaya utang itu masih wajar.
"Wajar tidaknya kenaikan biaya utang ini bergantung pada produktivitas utang. Itu masih cukup baik karena utang kita untuk kebutuhan pemulihan ekonomi pascapandemi, yang hasilnya mulai terlihat sekarang lewat mobilitas masyarakat yang kembali normal dan ekonomi kita yang kembali ke status upper middle income," kata Josua, 28 Agustus 2023.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.