KOMPAS.com - Vonis terhadap tiga terdakwa polisi dalam Tragedi Kanjuruhan dinilai tidak memberikan keadilan bagi para korban dan keluarga.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, vonis bebas dan ringan terhadap polisi yang terlibat merupakan kegagalan penegak hukum dalam memberikan keadilan untuk korban.
"Pihak berwenang sekali lagi gagal memberikan keadilan kepada para korban kekerasan aparat, meskipun sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat," kata Usman, dikutip dari siaran pers, Kamis (16/3/2023).
Baca juga: Kontras: Vonis Sidang Tragedi Kanjuruhan Jauh dari Harapan Keadilan
Dilansir Kompas.id, dua terdakwa divonis bebas dan satu terdakwa dihukum 1,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Kamis (16/3/2023).
Vonis bebas diterima mantan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidiq Ahmadi dan mantan Kepala Bagian Operasional Polres Malang AKP Wahyu Setyo Pranoto.
Sedangkan mantan Komandan Kompi Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan mendapatkan hukuman 1,5 tahun penjara.
Usman menegaskan, pemerintah perlu memastikan akuntabilitas seluruh aparat keamanan yang terlibat Tragedi Kanjuruhan guna memberikan keadilan bagi korban, dan memutus rantai impunitas.
Menurut Usman, salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan independen.
"Kasus ini sekali lagi menunjukkan pola kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakar kuat dan luas oleh aparat keamanan di Indonesia," tuturnya.
Baca juga: Komnas HAM Didesak Tetapkan Tragedi Kanjuruhan Sebagai Pelanggaran HAM Berat
Dia menekankan, Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi momen untuk memperbaiki kesalahan dan mengubah haluan, bukan mengulangi kesalahan yang sama.
"Kurangnya akuntabilitas juga mengirimkan pesan berbahaya kepada aparat keamanan bahwa mereka dapat bertindak dengan bebas dan tanpa konsekuensi hukum," ujar Usman.
Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur usai laga Arema FC versus Persebaya.
Korban tewas akibat berdesak-desakan saat mencoba keluar dari stadion untuk menghindari tembakan gas air mata yang dilepaskan aparat keamanan.
Pengamanan polisi dinilai sebagai penggunaan kekuatan berlebihan atau excessive use of power dan mengakibatkan ratusan orang meninggal.
Penggunaan gas air mata disebut sebagai faktor fatal yang menimbulkan kepanikan penonton sehingga terjadi desak-desakan saat massa berupaya menyelamatkan diri keluar dari stadion.