KOMPAS.com - Pertempuran Surabaya yang diperingati setiap 10 November menjadi ujian bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang belum lama dideklarasikan.
Selama Oktober hingga November 1945, Surabaya menjadi medan tempur antara pejuang Indonesia melawan pasukan Sekutu, dalam hal ini tentara Inggris.
Sejarawan Nugroho Notosusanto dalam bukunya Pertempuran Surabaya (1985) mengatakan bahwa pertempuran tersebut menjadi pertempuran paling menegangkan dengan semangat patriotisme tinggi yang ditunjukkan bangsa Indonesia.
Inggris sendiri memandang pertempuran Surabaya layaknya neraka. Rencana mereka untuk menguasai Surabaya terhambat karena kegigihan para pejuang Indonesia.
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya diperkirakan melibatkan hingga 20.000 pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dari berbagai penjuru Jawa Timur yang didukung 140.000 rakyat pejuang.
Sementara Inggris diperkirakan mengerahkan 9.000 pasukan dan 24 tank. Sumber lain mengatakan Inggris menerjunkan 24.000 prajurit, satu peleton artileri, satu skuadron kavaleri, dan kapal perang serta pesawat terbang.
Meski bambu runcing identik dengan senjata kemerdekaan, dan memang masih digunakan saat Pertempuran Surabaya, namun senjata itu bukan satu-satunya yang diandalkan pejuang.
Kekuatan tempur Indonesia juga didukung oleh persenjataan berat, termasuk meriam, yang tercatat mampu merepotkan pertahanan pasukan Inggris.
Salah satunya kompi bantuan mortir dari Resimen Sidoarjo. Mereka terdiri dari para pejuang yang pernah mendapatkan pelatihan menggunakan mortir dari Angkatan Laut Jepang.
"Posisi mereka ada di belakang Pasar Wonokromo, di bawah pimpinan Kapten Suwarso," tulis Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.
Ada pula batalion artileri dari Resimen TKR Gajah Mada, yang memiliki 28 pucuk meriam penangkis serangan udara dalam berbagai kaliber. Mereka ditempatkan di Karangpilang, Gresik dan sebelah selatan Kali Brantas.
Baca juga: 6 Tokoh Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya berlangsung sengit selama tiga minggu, dan berakhir dengan jatuhnya Surabaya secara keseluruhan ke tangan Inggris pada 28 November 1945.
Pertempuran ini lebih banyak memakan korban jiwa dari pihak Indonesia yang mencapai 20.000 orang. Sementara korban jiwa di pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.
Tidak hanya itu, pertempuran juga menyebabkan banyak penduduk mengungsi dari Surabaya dan mengakibatkan bangunan-bangunan mengalami kerusakan dan hancur.
Di sisi lain, meski akhirnya Surabaya jatuh ke tangan Inggris, namun pertempuran ini mengubah cara pandang Inggris dan Belanda terhadap Indonesia.