KOMPAS.com - Aksi aparat kepolisian yang menembakkan gas air mata menjadi sorotan dalam Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022.
Komnas HAM menilai, penembakan gas air mata menjadi penyebab tragedi yang menyebabkan tewasnya setidaknya 131 orang di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Gas air mata tidak hanya menyebabkan kepanikan, tetapi juga sejumlah penonton kesulitan bernapas. Apalagi, gas air mata itu ditembakkan ke arah tribune yang tidak sepenuhnya ruang terbuka.
Sorotan terhadap gas air mata pun kembali mengemuka, apalagi FIFA melarang penggunaannya di dalam stadion.
Tidak hanya itu, gas air mata juga dilarang penggunaannya untuk dan dalam situasi perang.
Sebab, gas air mata biasanya digunakan untuk memancing tentara yang bersembunyi di parit atau gedung untuk keluar, sehingga dengan mudah ditembaki tentara yang menjadi musuhnya.
Namun, sejumlah negara masih mengizinkan penggunaan gas air mata digunakan kepolisian. Salah satu alasannya adalah untuk mengendalikan massa jika terjadi kerusuhan.
Akan tetapi, penggunaan gas air mata biasanya dilakukan di ruangan terbuka dengan udara yang bebas sepenuhnya.
Bagaimana dunia menyepakati larangan gas air mata untuk perang? Simak dalam infografik berikut ini: