KOMPAS.com - Lebih dari 100 suporter tewas dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10/2022).
Penggunaan gas air mata oleh polisi saat mengendalikan massa menjadi sorotan dan disebut sebagai salah satu penyebab korban berjatuhan.
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur, Irjen Nico Afinta mengatakan, penembakan gas air mata usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya sudah sesuai prosedur.
Baca juga: Komnas HAM: Korban Kanjuruhan Meninggal karena Kurang Oksigen dan Gas Air Mata
Kendati demikian, berdasarkan FIFA Stadium Safety and Security Regulations Pasal 19B, penggunaan gas air mata tidak diperbolehkan.
Terlepas dari perdebatan itu, mengapa polisi hingga kini masih menggunakan gas air mata? Padahal gas air mata, termasuk senjata biologis, dilarang saat Perang Dunia.
Gas air mata pertama kali dikembangkan di Perancis saat Perang Dunia I. Negara lain, seperti Amerika Serikat (AS) dan Jerman pun menirunya karena dianggap lebih mematikan daripada gas mustard, senjata kimia yang dapat menyebabkan luka pada kulit dan salur pernapasan.
The Verge, pada 31 Agustus 2020 menuliskan, gas air mata secara khusus dikembangkan sebagai cara untuk memaksa tentara lawan keluar dari parit dan ke lapangan terbuka agar mereka bisa dibunuh.
Selama periode 1920-an, Layanan Perang Kimia Angkatan Darat AS, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Amos Fries, berkampanye ke departemen kepolisian di seluruh AS untuk menggunakan gas air mata sebagai tindakan pengendalian massa.
Gas air mata dikampanyekan sebagai cara yang lebih manusiawi untuk membubarkan massa yang tidak patuh, dengan alasan orang tidak akan mati karena gasnya.
Baca juga: INFOGRAFIK: Apa Saja Dampak Gas Air Mata terhadap Manusia?
“Ada juga kesadaran bahwa itu murah,” kata Anna Feigenbaum, seorang peneliti yang menulis buku Tear Gas: From the Battlefields of World War I to the Streets of Today.
“Murah untuk diproduksi dan murah untuk dibeli. Dan tidak perlu banyak pelatihan untuk menggunakannya, jadi mereka bisa menyebarkannya dengan cukup cepat,” jelasnya.
Sejak itu, gas air mata telah menjadi alat kepolisian di seluruh dunia untuk mengendalikan pengunjuk rasa atau demonstran.
Ada banyak bentuk gas yang berbeda, tetapi mungkin jenis yang paling umum digunakan saat ini terbuat dari senyawa chlorobenzylidene malononitrile (CS).
Ketika disebarkan, kandungan ini menargetkan tiga bagian tubuh manusia, yakni sistem pernapasan, mata, dan kulit.
Dilansir dari BBC, 16 Desember 2018, perusahaan seperti Dupont Chemical mulai memproduksi gas dan memasarkannya ke kepolisian dan penjara sebagai alat untuk mengendalikan kerusuhan.