Bulu Tangkis dan Tradisi Emas Olimpiade, Lanjutkan Indonesia Bisa!
Wawancara Eksklusif Jurnalis Kompas.com M Hafidz Imaduddin bersama Legenda Bulu Tangkis Indonesia Tontowi Ahmad (Bagian 2)
KOMPAS.com - Tontowi Ahmad, legenda bulu tangkis Indonesia, dalam perjalanan kariernya telah menghadapi beragam rintangan, baik teknis maupun nonteknis.
Satu dari berbagai tantangan yang pernah dihadapi Tontowi Ahmad ialah ketika memiliki kesempatan untuk membawa nama Merah Putih pada ajang prestisius Olimpiade.
Berpasangan dengan Liliyana Natsir di sektor ganda campuran, Tontowi Ahmad pernah mengalami hasil yang berbeda, yakni gagal di Olimpiade London 2012, lalu bangkit meraih emas pada Olimpiade Rio de Janeiro, Brasil, 2016.
Kepada KOMPAS.com, Tontowi menceritakan tantangan besar bagi seorang atlet saat tampil pada ajang Olimpiade, baik lawan maupun faktor nonteknis.
Sosok asal Banyumas, Jawa Tengah, itu pun mengemukakan soal perbedaan saat tampil pada Olimpiade London 2012 dan Olimpiade Rio 2016.
Tak lupa, Tontowi juga buka suara tentang peluang tujuh wakil Indonesia yang akan tampil di Olimpiade Tokyo 2020.
Berikut adalah wawancara eksklusif KOMPAS.com dengan Tontowi Ahmad pada Jumat (2/6/2021):
1. Apakah ganda campuran China, Zhang Nan/Zhao Yun Lei, adalah lawan terberat Owi/Butet pada Olimpiade 2016?
Sebenarnya tidak juga. Waktu itu, Praveen Jordan/Debby Susanto (wakil Indonesia lainnya yang menjadi lawan Owi/Butet pada perempat final Olimpiade 2016) juga sedang bagus-bagusnya.
Mereka (Praveen/Debby) waktu itu datang ke Olimpiade 2016 setelah menjadi juara All England. Performa mereka saat itu sedang meningkat.
Chan Peng Soon/Goh Liu Ying (pasangan asal Malaysia yang menjadi lawan Owi/Butet pada final Olimpiade 2016) juga sedang bagus-bagusnya saat itu. Jadi, semua lawan kami saat itu memang berat.
2. Apa tantangan terberat seorang atlet bulu tangkis ketika bersiap menghadapi ajang sebesar Olimpiade?
Tantangan terberatnya adalah ketika harus menghadapi tekanan dari luar. Kita ditantang untuk mengendalikan emosi ataupun mental kita di lapangan.
Seperti pengalaman saya sebelum Olimpiade 2012, tantangan terberatnya adalah menghadapi tekanan dan ekspektasi dari luar.
Kemampuan atlet untuk menangani atau menghadapi tekanan dari luar sangat diuji di Olimpiade. Kita dituntut untuk bisa mengubah tekanan atau ekspektasi itu menjadi motivasi bertanding di lapangan.
Intinya, tantangan terberatnya adalah mengendalikan emosi dan mental bertanding saat tekanan dan ekspektasi di luar sangat tinggi.
Kalau persiapan teknis, semua atlet pasti sudah tahu kapasitas masing-masing. Semua atlet pasti mempersiapkan faktor teknis dengan maksimal.
3. Bagaimana peran Liliyana Natsir pada Olimpiade 2012 dan Olimpiade 2016? Apakah ada perbedaan?