KOMPAS.com - Fenomena heatwave atau gelombang panas tengah menerjang sejumlah negara di Asia.
Hal tersebut diketahui dari beberapa unggahan warganet di media sosial X (Twitter), salah satunya diunggah oleh akun @IndianTechGuide, Kamis (2/5/2024).
"Heatwave in Asia," begitu narasi unggahan.
Dalam unggahan tersebut, tampak beberapa negara seperti Myanmar, Thailand, India, Bangladesh, Laos, Vietnam, Nepal, dan China mengalami suhu panas di atas 40 derajat Celsius.
Suhu di Myanmar bahkan mencapai 45 derajat Celsius. Sementara itu, Indonesia menjadi negara dengan suhu terendah di antara negara Asia lainnya, yakni 33 derajat Celsius.
Dikutip dari Kompas TV, gelombang panas tersebut sudah terjadi dalam beberapa bulan terakhir dan menyebabkan sekolah-sekolah ditutup.
Selain itu, gelombang panas tersebut juga memicu lonjakan penyakit dan kematian.
Lantas, apakah heatwave atau gelombang panas berpotensi terjadi di Indonesia?
Baca juga: Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?
Saat dikonfirmasi, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menyampaikan, secara indikator statistik suhu kejadian, heatwave atau gelombang panas dalam ilmu cuaca dan iklim didefinisikan sebagai periode cuaca dengan kenaikan suhu panas yang tidak biasa.
Fenomena ini biasanya akan berlangsung setidaknya lima hari berturut-turut atau lebih, sesuai batasan Badan Meteorologi Dunia atau WMO.
"Selain itu, untuk fenomena cuaca termasuk sebagai kategori gelombang panas, suatu lokasi harus mencatat suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik, misalnya 5 derajat Celsius lebih panas, dari rata-rata klimatologis suhu maksimum," ujar Guswanto kepada Kompas.com, Jumat (3/5/2024).
Ia menambahkan, adapun bila suhu maksimum tersebut terjadi dalam rentang rata-ratanya dan tidak berlangsung lama, maka tidak dikategorikan sebagai gelombang panas.
Sementara itu, Guswanto memastikan bahwa di Indonesia tidak terjadi heatwave karena posisi Indonesia yang berada di lintang rendah.
"Negara Indonesia bersifat kepulauan dan sebagian besar terdiri dari lautan, sehingga dinamika atmosfernya sangat dinamis, termasuk variasi cuaca harian cukup signifikan," tuturnya.
Meskipun Indonesia mengalami cuaca panas terik, namun suhu harian di Indonesia diperkirakan akan stabil sampai September seiring gerak semu Matahari.
Baca juga: Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?
Ia menyebut, gelombang panas itu akibat dari terbentuknya pusat tekanan tinggi di atmosfer atas (lebih dari tiga kilometer) yang membuat udara panas terdiam di titik itu dalam waktu lama, harian, hingga mingguan.
"Udara panas bertekanan tinggi ini pun kemudian turun, memanaskan udara di permukaan secara adiabatik. Kejadian ini jamak dikontrol oleh pola arus jet (jetstream) dan gelombang Rossby," jelas dia.
Dalam sistem tekanan tinggi tersebut, Guswanto mengatakan, pergerakan udara dari atmosfer bagian atas menekan udara permukaan (subsidensi) sehingga termampatkan dan suhu permukaan meningkat karena umpan balik positif antara massa daratan dan atmosfer.
Selanjutnya, pusat tekanan atmosfer tinggi itu menyulitkan aliran udara dari daerah lain mengalilr masuk ke area tersebut.
"Kemudian posisi Matahari yang berada di Bagian Bumi Utara (BBU), menyebabkan wilayah-wilayah Asia khususnya Asia Selatan mendapatkan penyinaran Matahari yang maskimum, sehingga suhu di wilayah tersebut akan terus meningkat," terang Guswanto
Tak hanya itu, ketika suhu air laut meningkat secara signifikan, hal tersebut juga dapat memengaruhi iklim daratan di sekitarnya.
Kemudian, perubahan suhu air laut dapat memengaruhi pola angin, menyeret massa udara hangat ke daratan, yang kemudian menyebabkan peningkatan suhu di wilayah tersebut.
Selain itu, kata Guswanto, suhu air laut yang lebih tinggi juga dapat menyebabkan penguapan yang lebih besar, meningkatkan kelembapan udara, yang pada gilirannya dapat memperkuat efek panas di daratan.
"Secara Klimatologis, suhu udara tertinggi bulanan terjadi pada Bulan April, Mei, Juni untuk wilayah Asia, kemudian ketika pada saat bulan April, Mei, Juni Enso berada pada fase El-Nino," ucap dia.
"Sehingga, hal ini akan berdampak suhu udara akan bertambah panas atau meningkat (Indeks ENSO sebesar+0.93, El Nino lemah)," imbuhnya.
Baca juga: Thailand Dilanda Suhu Panas, Dilaporkan 30 Orang Meninggal Dunia akibat Heat Stroke
Berdasarkan data suhu, anomali suhu udara secara global pada tahun 2024 lebih besar dibandingkan tahun 2023.
Guswanto memberikan contoh pada Januari, Februari, Maret 2023 sebesar 1,4 derajat C, 1,58 derajat C, dan 1,66 derajat C.
Sedangkan pada Januari, Februari, Maret 2024 suhu berada di sekitar 1,89 derajat C, 2,07 derajat C, dan 2,08 derajat C.
"Anomali suhu udara yang bertambah besar ini menunjukkan bahwa suhu udara semakin panas," tambah Guswanto.
Selanjutnya, berdasarkan data rata-rata suhu permukaan laut di sekitar Samudra Hindia, menunjukkan bahwa suhu 2024 lebih tinggi dibandingkan suhu rata-rata tahun 2023.
Di mana pada 28 April 2024 mencapai 30,9 derajat C, sementara pada 28 April 2023 sebesar 30,2 derajat C.
Adapun merujuk data Kementerian Kesehatan Thailand, heatwave yang terjadi pada tahun 2024, yakni mulai dari 1 Januari-24 April 2024, mengakibatkan 30 orang meninggal akibat heat stroke.
Sedangkan selama tahun 2023, korban meninggal adalah 37 orang.
Untuk diketahui, heat stroke adalah kondisi serius yang terjadi ketika tubuh terlalu panas dan tidak mampu mendinginkan dirinya sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.