"Karena rata-ratanya siklus sinodis atau Bulan baru ke Bulan baru berikutnya, 29,53 hari," terang Thomas.
Thomas melanjutkan, pengamal rukyat perlu kriteria agar saat melakukan pengamatan tidak keliru. Sebab, hilal sangat tipis dan redup, serta dihadapkan dengan cahaya senja yang masih terang.
Demikian pula pengamal hisab, perlu kriteria agar angka-angka hasil perhitungan bisa dimaknai dalam menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah.
"Hal pokok yang dilakukan pengamal rukyat dan pengamal hisab adalah menentukan batas minimal keberadaan hilal sebagai penanda awal bulan," ujarnya.
Baca juga: Arab Saudi Gelar Pemantauan Hilal 10 Maret 2024, Kapan Awal Ramadhan?
Baik metode hisab maupun rukyat, sama-sama bertujuan menentukan awal bulan dengan hilal sebagai obyeknya.
Kendati demikian, menurut Thomas, hilal bukanlah benda, tetapi fenomena ketampakan Bulan dari Bumi.
Pada kriteria wujudul hilal atau WH yang digunakan PP Muhammadiyah, mensyaratkan Bulan terbenam lebih lambat daripada Matahari, dan ijtimak sudah terjadi sebelum maghrib.
Ijtimak sendiri merupakan saat berakhirnya Bulan lalu dan munculnya Bulan baru dalam penanggalan Hijriah.
"Dari definisi tersebut jelas syarat minimalnya adalah piringan atas Bulan masih berada di atas ufuk (secara hitungan) pada saat maghrib," tutur Thomas.
Kriteria wujudul hilal tersebut termasuk kriteria yang paling sederhana dan telah digunakan sejak 1970-an.
Menurutnya, cukup menggunakan data waktu Bulan terbenam (moonset), Matahari terbenam (sunset), serta ijtimak sebelum maghrib, ahli hisab sudah bisa menentukan awal bulan Hijriah.
Baca juga: Awal Puasa Ramadhan 2024 Diprediksi Berbeda, BMKG Ungkap Potensi Keterlihatan Hilal
Dahulu, kata Thomas, pemerintah menggunakan kriteria lama MABIMS atau forum Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Kriteria ini resmi dipakai pada awal 1990-an, dan mensyaratkan batas minimal tinggi Bulan 2 derajat serta elongasi 3 derajat atau umur bulan (sejak ijtimak sampai maghrib) 8 jam.