Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tantan Hermansah
Dosen

Pengajar Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta

Generasi Netizen

Kompas.com - 11/12/2023, 14:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARUS diakui bahwa kehadiran internet telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia saat ini. Salah satu yang sekarang cukup dikenal adanya lahirnya entitas baru yang bernama “Netizen”.

Netizen berasal dari kata “internet” dan “citizen” yang kemudian digabung agar enak di telinga.

Dua kata yang merupakan representasi dari dua hal yang berbeda itu kemudian menghasilkan frasa baru yang saat ini begitu dikenal publik. Atau dengan bahasa yang lebih populer netizen adalah “warga yang hidup di ruang internet”.

Memang tidak semua bisa disebut netizen. Sebab ketika istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1992, Netizen digambarkan sebagai komunitas yang menggunakan ruang maya atau internet untuk melakukan kegiatan seperti memobilisasi massa, membangun opini, melakukan komunikasi publik, membangun branding seseorang maupun suatu lembaga, mendifusi ilmu pengetahuan dan sebagainya.

Intinya meskipun semua orang terhubung dengan internet, tidak semua orang bisa dimasukkan dalam kategori sebagai netizen.

Namun kemudian harus disadari di luar fakta ontologis di atas, Generasi Netizen keberadaannya tidak terbantahkan. Bahkan beberapa kalangan sudah mulai membuat kategori-kategori generasi netizen.

Microsoft beberapa tahun lalu, bahkan sampai melakukan riset untuk mengobservasi perilaku netizen ketika mereka berinteraksi di dunia maya.

Hasilnya cukup mencengangkan bagi netizen Indonesia. Mereka dianggap sebagai salah satu netizen yang paling tidak ramah di dunia maya.

Sebagai entitas virtual, memang generasi netizen bisa dibilang ambigu. Kehadirannya di dunia maya tidak jarang mampu melakukan tekanan untuk melakukan sesuatu terhadap beberapa hal yang mereka soroti, menyebabkan eksistensi mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.

Misalnya, ada arogansi seseorang atau sekelompok orang, atau ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak tertentu kepada pihak lainnya, terkadang bisa ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum setelah netizen berteriak atau berdengung dan memviralkan fenomena itu. Sehingga muncul akronim “No Viral No Justice”.

Sementara itu, aturan kita tentang perilaku netizen di ruang maya memang bisa dikatakan absurd. Adanya UU ITE lebih banyak kemudian menjerat hal-hal yang sifatnya politik.

Misalnya, ketika ada seseorang yang melakukan tindakan-tindakan yang dianggap bertentangan dengan moralitas publik terutama ketika menyinggung kekuasaan, baru UU tersebut ditegakkan.

Namun hal-hal sejatinya mengatur persoalan etika publik lain cenderung dilakukan pembiaran–kecuali viral.

Kembali kepada persoalan generasi netizen, kehadiran entitas ini memang sejatinya perlu direspons secara kritis oleh siapa pun: akademisi/saintis, agama, tokoh budaya, pebisnis dan tentu saja negara.

Negara harus membuat posisi yang cukup jelas dan tegas terhadap eksistensi entitas ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com