SECARA pribadi maka subyektif, saya tidak setuju alih-bahasa “wayang” menjadi “puppet”. Dalam bahasa Inggris, puppet berarti boneka.
Jelas kurang tepat menyebut wayang orang dan wayang wong sebagai puppet sebab baik orang maupun wong adalah manusia, bukan boneka.
Demikian pula wayang kulit Jawa Tengah dan Bali kurang pas disebut “puppet” maupun “marionet”.
Yang justru lebih tepat disebut “puppet” atau “marionet” sebenarnya adalah wayang golek yang memang tampil tiga dimensional sebagai boneka terbuat dari kayu.
Seperti Pinokio atau teater boneka yang ditampilkan pada film “The Sound of Music”, sementara The Muppet Show mahakarya Jim Henson merupakan wayang golek kebanggaan Inggris yang popularitasnya mengglobal.
Meski secara estetika bentuk wayang kulit setara indah dengan wayang golek, namun secara teknis pembuatan wayang golek yang tiga dimensional memang relatif lebih rumit ketimbang wayang kulit yang dua dimensional.
Selain mengukir bentuk wajah dan tubuh setiap tokoh wayang golek, para pengrajin wayang golek juga harus mampu membuat perangkat pakaian tokoh wayang dengan manik-manik dan mahkota tokoh wayang dengan beragam warna-warni yang semarak.
Hanya pengrajin dengan kehalusan jiwa dan tingkat seni tinggi yang bisa memadukan karakter tokoh dengan desain busana secara asri.
Lazimnya wayang golek terbuat dari kayu Albasia atau kayu lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, sehingga menyerupai bentuk yang diinginkan.
Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting demi mengekspresikan berbagai karakter tokoh.
Adapun empat warna dasar yang biasa digunakan wayang golek adalah merah, putih, prada, dan hitam.
Sejarah wayang golek tak lepas dari peran Wiranata Koesoemah III (Bupati Bandung ke-6). Beliau sangat menggemari wayang kulit, tetapi menginginkan wayang memiliki nilai-nilai khas Sunda.
Akhirnya ia meminta seorang pengrajin wayang kulit bernama Ki Darman asal Tegal yang berkarya di daerah Cibiru, Ujungberung, Bandung untuk membuat bentuk wayang golek yang lebih menarik dengan bentuk kepala/wajah yang benar-benar menyerupai manusia.
Maka lahirlah bentuk Wayang Golek Sunda seperti yang kita lihat sekarang.
Wayang golek semakin populer, tidak lagi sebatas konsumsi kaum bangsawan, tapi masyarakat umum juga mulai menggemari wayang golek sehingga menyebar ke segenap penjuru Jawa barat.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.