Kendati demikian, penyelidikan menunjukkan bahwa gangguan pada dua planet raksasa itu tidaklah berdampak signifikan untuk mengubah orbit Pons–Brooks.
Baca juga: Cara Melihat Komet Nishimura yang Tak Akan Terlihat Lagi hingga 434 Tahun
Marufin memaparkan, pada 21 Juli 2023, komet Pons–Brooks tiba-tiba terlihat lebih cemerlang. Namun, makin lama, ketampakannya perlahan kembali meredup seperti biasanya.
Inti komet yang berhasil diabadikan astronom Shinichi Watanabe dari Jepang mulai 21-28 Juli 2023 pun memperlihatkan aktivitas semburan masif berbentuk mirip ladam atau tapal kuda.
Adapun diameter semburan, tercatat sekitar 7.000 kali dari inti komet yang berukuran 30 kilometer.
"Semburan masif itu menyebabkan komet bertambah benderang 100 kali dibandingkan normalnya, meski perlahan-lahan kemudian meredup lagi," papar Marufin.
Dia menjelaskan, semburan tersebut merupakan contoh letusan klasik kriovolkano (cryovolcanism) atau gunung berapi dingin.
Cryovolcanism adalah aktivitas vulkanik dan pergerakan dorongan gas dengan material berupa partikel-partikel dingin seperti udara dan butiran es.
Gunung berapi dingin umum dijumpai pada komet, beberapa asteroid, serta satelit-satelit alami yang berada di tepi tata surya.
Menurut Marufin, dalam kasus komet Pons-Brooks, material vulkanik yang dimuntahkan mencapai 10 juta ton atau setara volume 10 juta meter kubik.
"Setara dengan tipikal volume letusan Gunung Merapi, kecuali letusan 2010," ujarnya.
Meski tampak tak cukup besar jika dibandingkan dengan letusan di Bumi, aktivitas vulkanik tersebut tergolong besar untuk benda langit sekecil komet.
"Saat letusan terjadi, komet berjarak 550 juta kilometer dari Bumi dan sedang melintasi sabuk asteroid utama dalam perjalanannya mendekati Matahari," sambungnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.