Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Mengapa Generasi Z Begitu Rapuh?

Kompas.com - 13/09/2023, 13:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

CEMAS akan masa depan menjadi fokus sentral Generasi Z saat ini, sebagai dampak dari perubahan zaman dan polikrisis yang melanda dunia.

Hasil survei Generasi Z dan Milenial 2023 oleh Deloitte mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan bahwa hampir setengah dari Generasi Z (generasi muda yang lahir tahun 1997-2012) merasa cemas secara terus-menerus yang mencakup berbagai aspek masa depan, terutama isu-isu keuangan, dan prospek karier (WEF, 2023).

Sejalan dengan itu, hasil survei dari FKKMK-UGM, The University of Queensland, dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health juga mengungkapkan bahwa 26,7 remaja Generasi Z mengalami gangguan cemas yang berpotensi menciptakan dampak sosial dan ekonomi jangka panjang (Kompas, 18/5/2023).

Kecemasan tentang masa depan yang umumnya muncul pada usia pertengahan, kini justru menjadi isu krusial dan mengemuka pada usia muda.

Lantas, apa yang menyebabkan generasi muda begitu tertekan tentang masa depan mereka?

Menurut Kadoya (2016), kecemasan berkorelasi kuat dengan tingkat literasi dan edukasi. Jika berkenaan dengan pengelolaan sumber daya, mereka yang melek finansial jauh lebih siap merencanakan masa depan, tangguh menangani ketidakpastian, sehingga mampu meredam kecemasan dan kekhawatiran berlebih terkait masa depan.

Kondisi ini erat kaitannya dengan pemahaman generasi muda tentang preferensi waktu (time preference). Preferensi waktu mengacu pada kecenderungan memprioritaskan tujuan saat ini (preferensi waktu tinggi) dibanding tujuan masa depan (preferensi waktu rendah).

Ini sangat memengaruhi bagaimana anak muda mengelola sumber daya, memahami prioritas finansial, dan merencanakan tujuan hidup mereka sejak dini.

Individu dengan preferensi waktu relatif tinggi cenderung lebih berorientasi pada kepuasan instan dan konsumsi jangka pendek (present-biased), sementara preferensi waktu relatif rendah akan cenderung menunda kepuasan (gratifikasi) dan memiliki visi yang jelas dalam jangka panjang (future-oriented).

Memahami perbedaan preferensi waktu menjadi penting dalam menciptakan lingkungan dan kebijakan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan generasi muda yang lebih cerah.

Psikolog sosial, Walter Mischel bahkan menyebut bahwa preferensi waktu rendah berkorelasi kuat dengan kesuksesan generasi muda pada masa mendatang.

Anak dengan preferensi waktu rendah lebih mampu mengendalikan diri, memiliki kesabaran tinggi, tak gentar dengan berbagai risiko, dan tidak akan terjebak dalam keputusan impulsif.

Sedangkan anak dengan preferensi waktu tinggi akan mudah terperangkap dalam gaya hidup yang berbahaya bagi dirinya.

Banyak generasi muda memiliki preferensi waktu relatif tinggi, artinya mereka cenderung belum terlatih berpikir jangka panjang. Jika mereka terlahir dari keluarga kaya, gaya hidup mewah dan ikut-ikutan trend (FOMO) menjadi pilihannya.

Jika mereka terlahir dari keluarga yang tak berpunya, mereka mudah akan terperangkap kriminalitas dan gaya hidup tidak sehat seperti merokok. Dengan kata lain, mereka tidak punya cukup literasi dalam mengelola sumber daya agar bermanfaat dalam jangka panjang.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com