Hingga pada 1992, Gusmao ditangkap pasukan Indonesia serta dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun berikutnya.
Dirinya dinilai telah berkomplot melawan pemerintah Indonesia dan memiliki senjata secara ilegal.
Hukuman itu kemudian dipersingkat menjadi 20 tahun. Bahkan, Gusmao dibebaskan menjadi tahanan rumah pada Februari 1999 setelah upaya penyelesaian yang ditengahi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Gusmao pun dikenal mengambil bagian aktif dalam pembicaraan dengan pemerintah Indonesia.
Langkah tersebut diambil bersama para pemimpin perlawanan, Jose Ramos-Horta dan Uskup Carlos Belo yang turut menerima penghargaan Nobel Perdamaian pada 1996.
Dalam perbincangan, kedua pihak kemudian memutuskan untuk melakukan gencatan senjata pada 18 Juni 1999.
Hingga pada 30 Agustus 1999, dalam referendum, mayoritas rakyat memilih kemerdekaan dan memisahkan diri dari Indonesia.
Keputusan itu pun membuat pemerintah Indonesia mulai menarik pasukan dari wilayah Timor Leste.
Pada 25 Oktober 1999, Dewan Keamanan PBB lantas mendirikan pemerintahan transisi, yakni UNTAET.
Sebagai presiden Dewan Nasional Perlawanan Timor, sosok Gusmao segera diangkat menjadi pejabat senior di pemerintahan transisi ini.
Masih dari sumber yang sama, pada April 2002, Timor Timur mengadakan pemilihan presiden pertama setelah merdeka.
Gusmao pun memenangkannya dengan mudah dan mulai menjabat pada 20 Mei, saat negara tersebut resmi merdeka.
Sebagai presiden, dia mengawal masuknya Timor Leste ke PBB pada 2002 dan ASEAN pada 2005.
Xanana Gusmao juga bekerja untuk mengembangkan ekonomi Timor Leste yang sangat bergantung pada industri perminyakan.
Baca juga: Tambah Timor Leste, Berikut Daftar 11 Negara Anggota ASEAN
Sementara itu, saat menjabat perdana menteri pada 2014, Xanana Gusmao dianugerahi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipurna.