Tepat 140 tahun kemudian, Komunitas Bambu menerjemahkan dan menerbitkannya dengan judul "Kepulauan Nusantara."
Dalam buku ini ditemukan nama-nama flora dan fauna Nusantara dalam nama ilmiahnya, lengkap dengan kedudukan spesies tersebut dalam taksonomi.
Persebarannya pun dijabarkan secara terperinci, lengkap dengan perkiraan perubahan lempeng bumi dan masa geologisnya. Wallace juga menggambarkan fenomena mimikri pada beberapa spesies serangga dan burung.
Manusia pun tak luput dari mata jeli Wallace. Ia mengamati suku-suku di Kepulauan Nusantara ini, khususnya dua suku besar: Melayu dan Papua.
Digambarkan karakter fisik dan mental manusianya. Ketika Wallace menginjak bumi Nusantara, ia menemui aneka bangsa hidup di dalamnya dengan kerajaan ataupun sistem sosial politik yang bisa disebut “kecenderungan bernegara”.
Sistem itulah yang saat Wallace datang tengah dihadapi oleh pemerintahan kolonial Belanda dalam usahanya meluaskan negara yang bernama Hindia-Belanda.
Ya, Belanda coba meluaskan kuasanya di sini. Dalam konteks itu, Wallace tak pernah sungkan untuk menilai kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda, seperti despotisme, tanam paksa, perbudakan, seraya membandingkannya dengan negaranya sendiri, Inggris, sebagai sebuah otokritik.
Itulah beberapa rangkaian fakta bahwa budaya tulis atau literasi tidak pernah terputus dari abad ke abad. Ternyata budaya lisan dan budaya literasi selalu berdampingan. Jadi sangat sulit diterima apabila dikatakan bahwa budaya masyarakat Indonesia adalah budaya lisan.
Pendapat saya di atas ternyata selaras dengan pendapat Amin Sweeney dalam bukunya "Puncak Gunung Es: Kelisanan dan Keberaksaran dalam Kebudayaan Melayu-Indonesia." (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011).
Di halaman 41, dia menulis bahwa alam Melayu telah mengenal huruf sejak lebih dari serbu tahun lalu.
Ini berarti bahwa sejak ketika mula-mula masuknya huruf itu, masyarakat Melayu tidak lagi dapat disifatkan sebagai masyarakat lisan sejati, karena biarpun hanya satu orang dalam seribu yang mampu menulis, pengaruhnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan pasti terasa dalam masyarakat seluruhnya.
Amin juga mengatakan bahwa perkembangan tradisi tulisan tidak berlangsung secara massif dan simulatan di seluruh daerah alam Melayu sehingga masih tersisa anggapan bahwa masyarakat masih bergantung semata-mata pada sistem pengolahan ilmu secara lisan.
Di samping itu, banyak juga daerah yang mempertahankan tradisi lisan—biarpun sudah agak terhuyung-huyung di pinggiran masyarakat modern.
Di halaman yang lain, Amin malah mengaskan bahwa suatu usaha untuk mendalami kajian terhadap tradisi lisan akan berhasil hanya kalau kita berupaya meningkatkan keberaksaran, karena mengkaji tradisi lisan dapat dilaksanakan hanya oleh orang yang telah menghayati dengan benar keberaksaraannya.
Tradisi lisan bukan sesuatu yang jauh dari pengalaman kita. Kita semua menjadi pembawa tradisi lisan. Tetapi mungkin cerita yang kita bawa itu aslinya dikarang dengan tulisan. Mungkin kita hanya membacanya.