KESERIUSAN pemerintah menangani isu perubahan iklim tergambar dalam konsep “Indonesia FoLU Net-Sink 2030” yang dikonkretkan dalam rencana operasional dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168/Menlhk/PKTL/PLA.1/2/2022.
Dalam ketentuan itu diatur pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya yang diistilahkan secara populer dengan FOLU (forestry and other land use). Target penurunan emisi GRK diharapkan tercapai pada kondisi di mana tingkat serapan telah berimbang (net sink) atau lebih tinggi daripada tingkat emisi pada tahun 2030.
Baca juga: Jokowi: Yang Ditakuti Dunia Bukan Lagi Pandemi, tapi Perubahan Iklim yang Sebabkan Bencana Naik
Di samping sektor FOLU, ada pula sektor energi, pertanian, IPPU (indutsrial process and production use), serta penanganan limbah.
Strategi jangka panjang pembangunan rendah karbon berketahanan iklim (long-term strategy low carbon and climate resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) diintegrasikan pada segenap sektor pembangunan. Sektor kehutanan (dan lahan lainnya) diproyeksikan akan memberikan kontribusi hampir 60 persen dari total target penurunan emisi GRK.
Terhadap praktek sehari-hari (business as usual), target penurunan yang cukup drastis tersebut diharapkan dapat menjadi good will and rationalization demi mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Dalam dokumen LTS-LCCR tersebut terdapat skenario rendah karbon yang compatible dengan target Paris Agreement.
Untuk itu, langkah-langkah korektif sekaligus solutif berikut dikemukakan dalam dokumen rencana operasional untuk pengurangan emisi GRK melalui minimasi deforestasi, penyelamatan lahan gambut (dekomposisi gambut dan kebakaran gambut), pengurangan degradasi hutan, peningkatan regenerasi alami, penerapan praktik-praktik pengelolaan hutan lestari, restorasi dan perbaikan tata air gambut.
Langkah lainnya adalah restorasi dan rehabilitasi hutan, optimalisasi pemanfaatan lahan tak produktif, peningkatan produktivitas lahan dan indeks penanaman, pencegahan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian di Jawa, dan pengurangan kehilangan/pemborosan hasil pertanian dan limbah makanan.
Pertanyaannya adalah bagaimana mendobrak praktik-praktik yang telah lama berlangsung dalam waktu yang tersisa menjelang tahun 2030. Kebijakan yang disusun secara sentralistik di pusat tentunya perlu diikuti dengan kebijakan dan langkah desentralistik di daerah, di mana masyarakat lokal berada di dalam pusat lingkaran.
Ketika masyarakat lokal hanya menerima ‘suguhan’ kebijakan dari pusat, kesan project-oriented dapat saja sulit dihindari saat pekerjaan itu tiba di daerah-daerah. Belum lagi situasi kedaerahan yang berbeda-beda dalam memandang dan menangani sumberdaya alam, sehingga cara pendekatan pun bisa sangat berbeda antar wilayah.
Sementara di tataran pusat bahkan global isu FOLU sesungguhnya tidak asing. Akan tetapi tidak perlu kecut ketika hal ini ditanggapi dengan sangat berbeda di tingkat tapak.
Namun asumsi ini akan tetap valid jika kita terus bekerja secara optimal untuk menyelesaikan pekerjaan rumah berikut, yaitu mempertemukan kepentingan ekonomi dan ekologi (lingkungan) dari berbagai pemangku kepentingan, seperti petani produsen, konsumen, dan bisnis; mengatasi penyebab sesungguhnya dari deforestasi, kebakaran hutan dan gambut, dan perubahan penggunaan lahan - yang berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca dan hilangnya keanekaragaman hayati; menjamin ketahanan pangan, nutrisi, dan diversifikasi pangan.
Baca juga: Wamen LHK: Indonesia Serius Tangani Perubahan Iklim Lewat FoLU Net-Sink 2030
Perkerjaan lainnya adalah mengurangi kehilangan dan pemborosan makanan di sepanjang rantai nilai sambil mempromosikan pola konsumsi yang berkelanjutan; memperkuat kerangka hukum dan kelembagaan untuk penggunaan lahan (terestrial dan laut); memobilisasi sumber daya keuangan dan teknologi yang dibutuhkan guna mendukung transisi ke sistem pangan serta tata guna lahan secara berkelanjutan.
Jika semua itu terus berlangsung dengan sebaik-baiknya maka tanpa harus menggunakan istilah apapun target yang disematkan dalam agenda NDC (Nationally Determined Contribution) maupun FOLU akan terealisasi melalui indikator kesejahteraan manusia dan alam seperti: