Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Vienna Adza
Pegawai Negeri Sipil

Kandidat Master Hukum Internasional NYU Law School

Yurisdiksi Universal Bukan Mandat Konstitusi Kita

Kompas.com - 10/02/2023, 15:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA resmi menjadi Ketua ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sepanjang tahun 2023. Terdapat berbagai harapan mengenai peran Indonesia dalam isu penting ASEAN, termasuk konflik Myanmar.

Tahun lalu, sejumlah kelompok masyarakat sipil mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta pengubahan yurisdiksi Pengadilan HAM atas pelanggaran HAM berat di luar negeri menjadi mencakup warga negara asing (WNA).

Jika dikabulkan, Pengadilan HAM akan berwenang mengadili pelanggaran HAM berat di luar negeri oleh siapapun dan kepada siapapun tanpa berkaitan dengan Indonesia. Yurisdiksi ini disebut yurisdiksi universal (YU).

Baca juga: Menlu Retno Ragu Konflik Myanmar Akan Selesai Tahun Ini

Akan tetapi, penerapan YU pada prinsipnya adalah kebijakan sistem peradilan Indonesia, bukan persoalan konstitusionalitas maupun kewajiban internasional.

Universalitas HAM dan Ketertiban Dunia

Pemohon menganggap UU Pengadilan HAM bertentangan dengan konstitusi dalam dua hal. Pertama, pembatasan yurisdiksi mengurangi esensi universalitas HAM dalam Pasal 28 UUD 1945. Kedua, pembatasan tersebut membatasi peran Indonesia dalam menjaga ketertiban dan perdamaian dunia.

Mengenai hal pertama, universalitas HAM diakui dalam berbagai instrumen hukum internasional, termasuk Deklarasi Universal HAM. Universalitas ini merujuk pada nilai bahwa semua manusia memiliki HAM tanpa pengecualian apapun, seperti ras dan agama.

Baik Kovenan Hak Sipil Politik maupun Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya meletakkan tanggung jawab utama perlindungan dan penghormatan HAM pada negara dalam wilayah dan yurisdiksinya masing-masing. Logikanya, negara memang memiliki kewenangan penuh hanya di wilayah dan yurisdiksinya.

Pembatasan itu penting sebagai jaminan penghormatan kedaulatan dan upaya mencegah berbagai bentuk kolonialisme, termasuk dengan memaksa penerapan nilai tertentu (misi peradaban atau demokratisasi) ke wilayah negara lain. Karenanya, meski universalitas HAM berlaku kepada semua orang, penafsirannya tidak serta merta menjadi universalitas kewenangan negara kepada semua orang di wilayah manapun.

Dalam konteks Indonesia, pemerintah memang dimandatkan untuk melindungi HAM ‘semua orang’, bukan hanya warga negara. Namun, tentu Indonesia tidak dapat menerapkan kekuasaannya untuk memenuhi HAM seluruh masyarakat dunia, karena tanggung jawab dan kekuasaannya terbatas.

Tentu bukan intensi penyusun konstitusi untuk mewajibkan Indonesia menjamin hak atas pendidikan atau hak kewarganegaraan individu di belahan dunia lain, tanpa berkaitan dengan Indonesia. Dengan demikian, meski konstitusi mengakui universalitas HAM, hal tersebut tidak dapat diartikan dengan mengakui universalitas kekuasaan Indonesia dalam melindungi HAM seluruh masyarakat dunia.

Mengenai hal kedua, menafsirkan ‘menjaga ketertiban dunia’ dalam konstitusi haruslah satu nafas dengan frasa ‘yang berdasarkan kemerdekaan’. Frasa tersebut mengukuhkan prinsip dasar kebijakan negara dalam mengemban peran global.

Baca juga: Tugas Mahkamah Internasional PBB

Konstitusi mengamanatkan peran dan prinsip, namun tidak mendikte kebijakan apa dan sejauh apa peran menjaga ketertiban dunia tersebut harus dilaksanakan. Adapun keputusan mengenai kebijakan apa yang sesuai menjadi kewenangan pemerintah dan dalam beberapa hal bersama dengan DPR sebagai penentu kebijakan, bukan lembaga yudikatif.

Contohnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diresmikan tahun 2022, pemerintah dan DPR sepakat untuk memuat YU, namun dengan mensyaratkan adanya perjanjian internasional dengan negara yurisdiksi utama. Eksistensi YU dan lingkup tindak pidana yang berlaku merupakan kebijakan pemerintah dan DPR.

Demikian pula dalam UU Pengadilan HAM. Ada tidaknya YU sebagai upaya menjaga ketertiban dunia murni menjadi keputusan politik hukum nasional, bukan persoalan konstitusi.

Dalam foto ini disediakan oleh Karenni Nationalities Defense Force (KNDF), asap dan api mengepul dari kendaraan di kotapraja Hpruso, negara bagian Kayah, Myanmar, Jumat, 24 Desember 2021.KNDF melalui AP Dalam foto ini disediakan oleh Karenni Nationalities Defense Force (KNDF), asap dan api mengepul dari kendaraan di kotapraja Hpruso, negara bagian Kayah, Myanmar, Jumat, 24 Desember 2021.
Yurisdiksi Universal dalam Hukum Internasional

Hingga saat ini belum ada rujukan otoritatif mengenai legalitas YU berdasarkan hukum internasional. Mahkamah Internasional (MI) tidak memiliki posisi tegas namun memiliki sikap kasuistis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com