Kemudian ada Randall Hartolaksono yang menemukan bahan anti api dan panas dari kulit singkong. Penemuannya ini digunakan perusahaan besar seperti Petronas dan Ford. Lalu, ada Profesor Adi Utarini dari UGM. Profesor Adi Utarini memimpin percobaan dari sebuah teknologi yang membantu memberantas penyakit demam berdarah. Penelitiannya telah berkontribusi mengurangi penyakit demam berdarah sebesar 77 persen di beberapa kota besar, yang membuatnya masuk ke daftar 10 orang yang membantu membentuk sains tahun 2020 versi majalah Nature.
Dari kancah global, ada Jennifer Doudna dan Emmanuelle Charpentier yang memelopori teknologi penyuntingan gen bernama CRISPR. Banyak yang berharap teknologi ini dapat mengubah gen manusia untuk mencegah penyakit. Atas penemuannya, dua sosok ilmuwan ini mendapatkan penghargaan Nobel.
Ilmuwan-ilmuwan tersebut berhasil menahbihkan dirinya sebagai scientist leader karena penemuannya berkontribusi besar bagi masyarakat.
Ketika pandemi, bermunculan banyak scientist leader. Para pemimpin ilmuwan membuktikan kapasitas dan kapabilitasnya. Para scientist leader dari Universitas Oxford, perusahaan Moderna, Pfizer, dan masih banyak lagi telah menghasilkan vaksin dalam waktu yang terbilang singkat.
Karena para scientist leader inilah, dunia menjadi relatif aman dan masyarakat terbentengi dari virus Covid-19.
Kesigapan dan ketekunan para pemimpin ilmuwan diharapkan mampu menyelesaikan isu perubahan iklim. Masalah perubahan iklim sifatnya multi spektrum dan multi dimensi yang membuat isu ini sangat rumit untuk diselesaikan. Membutuhkan kolaborasi antar ilmuwan lintas disiplin untuk menghasilkan solusi bagi Bumi.
Kabar baiknya, pemimpin ilmuwan telah memiliki modal kepercayaan yang cukup besar dari masyarakat. Menurut laporan Wellcome Global Monitors 2020: Covid-19, terdapat peningkatan kepercayaan pada ilmuwan. Tahun 2018, kepercayaan masyarakat terhadap ilmuwan hanya sebesar 34 persen. Pada akhir tahun 2020, 43 persen masyarakat mempercayai ilmuwan.
Pew Research Center tahun 2020 melakukan survei di 20 negara. Secara keseluruhan, Pew Research Center menemukan bahwa 36 persen masyarakat mempercayai ilmuwan.
Di Indonesia, ilmuwan merupakan profesi terpercaya kedua setelah dokter. Menurut survei Ipsos 2022, 57 persen rakyat Indonesia mempercayai profesi Ilmuwan. Dokter menempati peringkat pertama dengan persentase 59 persen.
Sentimen positif itu dapat membantu pemimpin ilmuwan dalam melakukan kerja-kerja positifnya. Dengan kepercayaan masyarakat tersebut, para scientist leader menjadi lebih terpacu untuk menghasilkan lebih banyak riset berdampak dan berdaya guna.
Kita akan terus membutuhkan pemimpin ilmuwan. Karena itu, perguruan tinggi, lembaga riset, dan perusahaan harus merespon dengan baik harapan masyarakat. Tiga institusi inilah yang menjadi tempat scientist leader bernaung. Mereka punya tanggung jawab menciptakan iklim riset yang inklusif, kolaboratif, dan produktif.
Ada beberapa karakteristik yang umum dari scientist leadership, 10 di antaranya adalah:
Salah satu respon yang bisa dilakukan perguruan tinggi, lembaga riset, dan perusahaan adalah mencetak lebih banyak scientist leader. Meski begitu, terdapat beberapa tantangan yang membuat tiga institusi ini mengalami kesulitan mencetak scientist leader.
Pertama, belum capable-nya scientist leader dalam memimpin tim. Majalah Nature mempublikasikan riset karya Richard van Noorden tahun 2018 yang mengungkapnya bahwa dalam 12 bulan terakhir, 68 persen responden mengatakan pimpinan riset tidak mengadakan pelatihan manajemen.
Hal itu juga yang mendasari lebih dari 70 persen peneliti junior menginginkan peneliti yang lebih senior mendapatkan pelatihan tentang mentoring, sehingga dapat memimpin dengan lebih baik.