Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Brigitta Valencia Bellion
KOMPAS.com - Dunia digital bukanlah istilah asing bagi masyarakat Indonesia karena mayoritasadalah pengguna aktif media sosial. Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) menyatakan penduduk Indonesia yang terhubung internet pada 2021–2022 mencapai 210 juta orang.
Mengutip Kompascom, nilai ini meningkat drastis jika dibandingkan situasi sebelum pandemi. Pada saat itu, jumlah pengguna internet di Indonesia hanya mencapai 175 juta orang. Namun, pandemi memaksa seluruh orang untuk bertransformasi ke dunia digital.
Di sisi lain, Avina Sugiarto, Partner East Ventures, justru menganggap ini sebagai hal positif. Melalui siniar Obsesif bertajuk “Pemberdayaan Ekosistem Digital dan Talenta Baru” dengan tautan akses dik.si/ObsesifAvina, ia mengungkapkan masa inilah yang memperluas peluang untuk mengembangkan diri dan berbisnis.
Indonesia sendiri memiliki sumber daya manusia dengan kuantitas yang bisa dibilang sangat cukup. Sayangnya, jumlah besar ini tak sebanding dengan kualitasnya.
Data BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tamatan SD ke bawah (tidak/belum pernah sekolah/belum tamat SD/tamat SD), yaitu 39,10 persen.
Kurangnya kualitas sumber daya manusia juga berpengaruh pada kondisi talenta digital di Indonesia. Banyak dari mereka yang sudah terpapar internet tanpa mengetahui seluk-beluk dan bahayanya. Fenomena ini menyebabkan pemanfaatan dunia digital menjadi kurang tepat.
Baca juga: Meditasi: Akses Mudah untuk Hadapi Stres
Kita dapat melihat banyaknya orang yang dengan mudah terkenal secara cuma-cuma. Pendek kata, mereka terkenal bukan karena mencatutkan prestasi melainkan kontroversi.
Dengan bermodalkan internet dan gawai yang berada dalam genggaman tangan, orang-orang tersebut bebas berucap tanpa mengetahui konsekuensi dari setiap kata yang dikeluarkan.
Di sisi lain, kita tak bisa mengontrol bagaimana audiens merespons hal tersebut. Alhasil, audiens yang kurang teredukasi berhasil menjadi target pasarnya. Mereka pun dengan bangga menjadi pendukungnya. Bahkan, sering kali meminta konten yang jauh lebih ekstrim.
Tanpa disadari pula, orang-orang yang kurang menyukai konten tersebut berperan menyebarluaskannya. Dengan mengunggah kalimat-kalimat serapah yang mengungkapkan ketidaksukaan, kita justru menarik banyak orang untuk menjadi penasaran.
Alhasil, konten tersebut pun dibicarakan banyak orang. Gongnya adalah target sang kreator pun tercapai.
Ia pun menjadi viral dan namanya semakin besar. Orang-orang pun mengundangnya tanpa sadar pijakan moral dari tindakannya. Sebab, yang mereka utamakan hanyalah keuntungan semata.
Sementara itu, siklus baru pun sedang terjadi pada masyarakat Indonesia dengan akses yang minim terhadap internet.
Adapun penyebab masalah ini adalah kurangnya pendampingan. Sudah seharusnya orangtua mampu mengarahkan anak dalam memanfaatkan dunia digital. Namun, banyak orangtua minim edukasi dan terjerat siklus baru karena tidak siap menerima informasi digital.