Alhasil, situasi ini dimanfaatkan oleh pelaku. Ditambah kemampuan teknologi yang andal dan kerja tim yang sistematis, pelaku menyebarkan kejutan kepada korban untuk mengikuti perintah mereka sehingga mau memberikan informasi rahasia.
Kejutan bisa berupa takut atau senang. Takut kehilangan uang, senang karena mendapatkan uang (hadiah).
Ketika korban yang berhasrat kaya dihadapkan pada kejutan tadi, maka ia akan bertindak sesuai hasratnya. Saat dihadapkan pada rasa takut, ia akan berupaya melindungi uangnya.
Saat dihadapkan pada rasa senang (akan mendapat hadiah, misalnya), ia menjadi terkaget-kaget. Pelaku lalu memosisikan dirinya sebagai penyelamat yang membantu korban agar terhindar dari kerugian ataupun mendapatkan keuntungan yang tak lain adalah tipu-tipu.
Tujuan akhirnya adalah menyedot kekayaan korban. Korban terus dipepet agar selalu dalam kontrol pelaku.
Lambatnya penegakkan hukum membuat pelaku terus beraksi, bahkan dengan modus yang lebih beragam. Pelaku bergerak dengan cepat.
Begitu berhasil, mereka segera menghapus jejak digital dan memindahkan uang secepatnya. Sementara ada serangkaian birokrasi yang perlu dilewati aparat hukum menangkap mereka.
Subjek harus paham bahwa kejahatan perbankan di ranah digital nyata, beragam, dan terus berkembang.
Subjek, meminjam istilah Althusser (2008), harus diinterpelasi (dipanggil) sehingga sadar dan mengantisipasi atas situasi kejahatan yang menimpa mereka.
Ibarat dalam olahraga bela diri, subjek harus dengan refleks menangkis dan mengelak dari serangan. Agar bisa refleks, subjek perlu disadarkan dan dilatih terus-menerus. Upaya menyadarkan subjek agar tidak menjadi korban sebaiknya dilakukan secara berjamaah.
Meningkatnya kasus ini tak hanya merugikan korban, tapi juga aparat hukum karena dianggap tak mampu menangkap pelaku, bank karena dianggap lalai, bahkan negara karena dianggap gagal melindungi warga negaranya.
Sehingga para pihak perlu bersinergi menyadarkan subjek, menyiapkan sistem keamanan perbankan yang baik, dan menangkap pelaku serta menjeratnya dengan hukuman berat.
Utamanya negara melalui aparaturnya, baik yang bersifat ideologis (lembaga negara yang berperan dalam penyebarluasan informasi) maupun represif (lembaga penegak hukum) perlu bekerja secara optimal.
Interpelasi subjek, kata Althusser, bisa berhasil membuat subjek sadar dan mengikuti kehendak penguasa jika negara mampu mengarahkan aparaturnya (ideologis dan represif) dengan baik.
Jadi, jangan sampai ada korban lagi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.