SUATU pagi, saya mendapati pesan di grup perbincangan yang memicu kehebohan. Pesan itu berupa video pendek soal ajakan berhati-hati agar tidak sembarangan mengklik foto yang dikirim via aplikasi perbincangan oleh seseorang yang mengaku-ngaku pengantar paket.
Foto mengandung konten APK yang begitu diklik akan terinstal secara otomatis. Begitu terinstal, gawai bisa dikontrol dari jauh.
Jika sudah begini, maka data penting di gawai termasuk data perbankan bisa dicuri. Uang di rekening bisa lenyap seketika.
Hampir semua anggota grup berkomentar: hati-hati! Lainnya berterima kasih sudah diingatkan.
Cerita lain, saya sendiri yang mengalaminya, ada pesan dari seseorang yang mengaku-ngaku admin bank pelat merah. Isinya agar segera membarui data melalui suatu tautan. Jika tidak, maka biaya administrasi bulanan akan melonjak ratusan ribu rupiah.
Saya juga pernah mendapat pesan serupa dari orang yang mengaku berasal dari bank swasta terbesar di Indonesia. Termasuk dengan modus meminta OTP. Jadi, tak hanya satu-dua kali.
Saya iseng mengikuti arahan pesan tadi. Tampilan isian yang harus diisi ternyata mirip dengan aslinya. Ngerinya, saya diminta mengisi data-data rahasia yang dilarang disampaikan ke siapapun, termasuk pihak bank sekalipun.
Saya isikan saja data-data bohong sampai ke bagian akhir. Karena data yang diisi adalah data bohong, ya prosesnya gagal!
Saya kirim pesan balik, "Gagal! Kenapa, ya?" Tak ada balasan.
Dalam modus meminta OTP, saya berpura-pura bingung hingga pelaku marah-marah kepada saya. Saya langsung tutup telepon dan langsung lapor ke bank.
Intinya, saya tidak tertipu karena sudah tahu modus ini sejak awal. Sementara, ada kerabat yang terpaksa merelakan uang tabungan ratusan juta rupiah raib. Bank mengganti sebesar lima puluh persen. Tetap saja gigit jari.
Modus kejahatan seperti ini sudah banyak menelan korban. Tapi, mengapa ada yang bisa menjadi korban?
Saya akan jelaskan dari sudut pandang psikoanalisis yang dipelajari banyak disiplin ilmu, terutama Kajian Budaya dan Media.
Dalam menjalankan modusnya, pelaku memanfaatkan psikologis korban, kecanggihan teknologi, serta lemahnya literasi dan penegakkan hukum. Ketiga faktor itu saling terkait satu sama lain.
Psikologis korban identik dengan hasrat. Hasrat, menurut tokoh psikoanalisis Lacan (1977), terkait dengan kebutuhan (need) dan tuntutan (demand).