Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Pertaruhan Lingkungan di Balik Ambisi Hilirisasi Nikel

Kompas.com - 15/11/2022, 09:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SECARA historis nikel telah lama digunakan terutama untuk paduan industri logam agar tahan korosi. Tak ayal, sekitar dua pertiga baja tahan karat saat ini mengandung nikel. 

Hal ini menyebabkan permintaan nikel sebagai komponen baterai lithium-ion (Li-Ion) terus meningkat dengan kontribusi permintaan sekitar 7 persen dari total permintaan nikel hari ini. Sekitar 10 persen dari kebutuhan nikel digunakan untuk berbagai teknologi energi bersih, baik sebagai bahan katoda untuk baterai maupun dalam bentuk paduan untuk energi terbarukan dan hidrogen.

Pangsa teknologi energi bersih dari total permintaan nikel diprediksi akan tumbuh lebih dari 30 persen dalam jangka menengah dan menjadi sekitar 60 persen pada tahun 2040 (IEA, 2022).

Pertumbuhan permintaan tersebut tak lepas dari produksi nikel global telah meningkat sebesar 20 persen selama lima tahun terakhir, terutama didorong oleh proyek ekspansi di Asia Pasifik, terutama Indonesia dan Filipina.

Baca juga: Nikel, Komoditas Logam Dasar Aneka Tambang

Kedua negara itu  mewakili 45 persen dari output global saat ini. Dominasi produksi nikel Asia Pasifik akan meningkat di tahun-tahun mendatang, karena berkontribusi atas sekitar 70 persen pertumbuhan produksi global selama periode hingga 2025.

Indonesia sendiri menyumbang sekitar setengah dari pertumbuhan tersebut. Hal ini didorong oleh perusahaan China yang menginvestasikan dan berkomitmen sekitar 30 miliar dolar Amerika Serikat (AS) dalam rantai pasokan nikel Indonesia.

Dalam jangka panjang beberapa proyek pun sedang direncanakan di luar Indonesia, seperti proyek Kabanga di Tanzania (salah satu deposit nikel sulfida terbesar, dengan 2,6 persen bijih berkadar tinggi) dan proyek Wingellina di Australia.

Nikel kelas 1 jadi incaran

Pasokan nikel di masa depan kemungkinan besar akan didorong oleh kemajuan di Indonesia, dan karena itu rantai pasokan nikel global dapat dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan kebijakan di Indonesia.

Pada 1 Januari 2020, misalnya, pemerintah Indonesia mulai menerapkan larangan ekspor bijih nikel, dua tahun lebih awal dari tanggal yang diumumkan sebelumnya, dengan tujuan memproses bijihnya di smelter dalam negeri (tidak mengekspor ke China) untuk hilirisasi nikel.

Tahun 2020 ekspor bijih nikel ke China turun hampir 90 persen dan ekspor nikel pig iron naik dua kali lipat dibandingkan tahun 2019 (Reuters, 2021).

Hal itu pada gilirannya memaksa perusahaan penyulingan China untuk mencari sumber pasokan bijih baru dari Filipina dan New Caledonia. Pasalnya saat ini produsen baterai Li-Ion begitu gencar mengincar nikel dengan kemurnian paling tinggi.

Secara umum, terdapat dua jenis produk nikel primer, nikel kelas 1 produk dengan kemurnian paling tinggi (mengandung 99,8 persen nikel atau lebih) dan nikel kelas 2 dengan kemurnian lebih rendah (mengandung kurang dari 99,8 persen nikel).

Katoda baterai membutuhkan nikel sulfat, yang disintesis dari produk kelas 1.

Ada hubungan yang kompleks antara berbagai jenis sumber daya (sulfida, saprolit dan limonit) dan jenis produk (kelas 1 dan kelas 2). Deposit sulfida terutama banyak terdapat di Rusia, Kanada dan Australia, dan menjadi sumber pasokan utama nikel kelas 1 selama lebih dari satu abad.

Nikel terkonsentrasi dalam bijih pada kadar yang relatif tinggi, biasanya dalam kisaran 0,4-3,2 persen. Sedangkan sumber oksida (sering disebut laterit) seperti saprolit dan limonit banyak terdapat di Indonesia, Filipina, dan New Caledonia.

Baca juga: 3 Alasan Pentingnya Smelter Nikel di Indonesia

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com