Konteks bergerak liar, dan nilai suatu pendapat ataupun tindakan digantungkan pada keberpihakan politik. Bahkan – yang paling mencemaskan dari semuanya - kaidah keilmuan pun dikebiri.
Pendapat-pendapat dan analisis ilmiah yang berupa kritik ataupun apresiasi dicurigai memiliki tendensi. Dimasukkan dalam konteks politik yang bergerak demikian dinamis, bahkan di masa bencana pandemi Covid 19 melanda negeri ini.
Hari ini, kita kehilangan gugus makna, dan hanya bisa melihat nanar nilai Sumpah Pemuda di cakrawala sana. Semua titian sudah kita runtuhkan. Tak seorangpun yang bebas bergerak ke sana ke mari tanpa dicurigai.
Bahkan Prabowo dan Jokowi, seperti apapun mereka berusaha membangun rekonsiliasi, keduanya sudah terlanjur dibingkai dalam konteks kontestasi. Sialnya, dinamika yang tidak sehat ini terus berlangsung hingga saat ini.
Padahal, Pilres 2024 masih dua tahun lagi, dan Pilres 2019 sudah tertinggal jauh di belakang dengan menyisakan rekonsiliasi elite di dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf.
Di sisi lain, kita sudah melalui bencana pandemi Covid 19 selama dua tahun belakangan, dan potensi ancaman krisis ekonomi, finansial, dan energi sudah di depan mata.
Di hadapan kita ada dua fakta alamiah yang muncul saat ini – yang bila tidak direspon atau dituntaskan – akan menjadi beban bagi generasi yang akan datang, serta akan membuat cita-cita Indonesia emas tahun 2045 bisa tidak tercapai.
Pertama, masa depan yang datang lebih cepat. Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami lompatan yang siginifikan, sebut saja; kemajuan dalam bidang komunikasi dan informatika, artificial intelligence (AI), bio-technology, nano-technology, aerospace technology, dan energi alternatif non-fosil.
Semua pecapaian ini, memang belum optimal dan sempurna. Tetapi kita sadari, inilah infrastruktur masa depan yang akan kita tuju nantinya. Itu sebabnya kita secara perlahan berbenah dan mulai beradaptasi.
Namun pandemi Covid 19 yang melanda dunia selama dua tahun terakhir, telah membuat masa depan itu datang lebih cepat dari yang seharusnya. Dalam ngarai kebingungan yang melanda, pencapaian teknologi masa depan itu menjadi jawaban.
Ketika semua orang disuruh untuk menjaga jarak dan berdiam di dalam rumah (lockdown), global inter-connectivity menjadi jawabannya; AI menggantikan kerja-kerja fundamental manusia yang tidak maksimal di masa pandemi; bio-technologi melalui derivasinya (genomic, recombinant gene techniques, applied immunology, and development of pharmaceutical therapies and diagnostic test), terus menembus batas untuk menemukan vaksin dan solusi lainnya yang berguna bagi manusia.
Dengan kata lain, bencana pandemi Covid 19 telah mendorong peradaban modern memasuki era yang benar-benar baru dengan bertumpu sepenuhnya pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ini jelas sebuat tantangan nyata bagi setiap negara, khususnya para generasi muda yang akan menjadi penerus tongkat estafet pembangunan bangsa.
Kedua, surplus demografi. Menurut Bappenas, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi pada 2030-2040. Saat itu jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).
Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa (bappenas.go.id).