PADA hakikatnya, Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober sebagai momentum awal lahirnya bangsa Indonesia. Sebab pada waktu itu (28 Oktober 1928), untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa, ras, dan agama, mengakui “berbangsa satu, bangsa Indonesia”.
Kemudian, sebagai langkah perjuangan selanjutnya, didirikanlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tujuannya tidak lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Amanat Pembukaan UUD 1945).
Baca juga: Organisasi Kedaerahan yang Muncul Sebelum Sumpah Pemuda
Dari situ terlihat jelas bahwa rangka bangun NKRI dibentuk secara button up, bukan top down. NKRI adalah objektifikasi aspirasi seluruh bangsa, bukan aspirasi satu golongan, kelompok, ataupun kelas.
Sebagaimana di amanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan didirikannya NKRI tidak hanya untuk kemaslahatan bangsa-bangsa yang ada di kepulauan nusantara saja, tapi juga mencakup seluruh bangsa di dunia.
Dengan demikian, momentum Sumpah Pemuda bukan hanya tentang bagaimana memperingati kiprah pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga tentang bagaimana kita memaknai kembali secara lebih jernih semua nilai dari gagasan persatuan Indonesia, yang menjadi konstruksi elementer NKRI ini.
Sebagaimana kita ketahui, segala sesuatu yang dianggap bernilai, tidak bersifat independen, tetapi terikat pada konteks.
Hubungan seksual akan bernilai baik dalam konteks pernikahan, tetapi akan dinilai sebagai perzinahan bila dilakukan di luar konteks itu. Bahkan perbuatan membunuh akan bernilai kepahlawanan bila dalam konteks perang. Tetapi akan bernilai pembunuhan bila dilakukan dalam situasi damai.
Inilah hukum besi penilaian yang berlaku secara universal. Karena konteks bersifat lentur dan dinamis, maka nilai membutuhkan pengelolaan yang kreatif, terampil, dan intens. Untuk inilah dibutuhkan sebuah kaidah, hukum, atau aturan yang menjadi kerangka pijakan bagi ekosistem nilai tersebut. Fungsinya adalah untuk mengikat konteks.
Berbeda dengan nilai, sebuah kaidah atau hukum harus bersifat ajeg, kokoh dan timeless. Bila tidak, maka konteks akan terlepas, sehingga nilai pasti akan bergerak liar.
Dalam kasus Indonesia, Pancasila adalah “kerangka nilai”, yang menjadi ekosistem, tempat nilai tersebut tumbuh. Ini sebabnya, Pancasila dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum di republik ini.
Pada titik tertentu, Pancasila adalah substansi yang menjadi identitas utama NKRI. Dalam kerangka ini, merawat nilai bhinneka tunggal ika dan Pancasila adalah hal yang paling fundamental bagi bangsa Indonesia. Menjaga kedua hal ini sama halnya dengan menjaga hidup itu sendiri.
Baca juga: Sumpah Pemuda, Tonggak Kelahiran Bahasa Indonesia
Tanpa kedua hal tersebut, konsep yang bernama Indonesia itu akan menjadi nisbi dan tak bernilai. Seperti ikan dengan air. Bila Indonesia adalah ikan, maka kebinekaan itulah airnya, semesta kehidupannya.
Namun beberapa tahun terakhir ini, kita menyaksikan sendiri, bagaiman kita gagap mendefinisikan konteks. Dinamika politik dalam konteks pilpres, kita artikan sebagai perjuangan hidup mati mempertahan eksistensi kelompok.
Tak ayal, kekacauan makna pun terjadi. Jargon-jargon “perang” justru muncul pada konteks damai; konteks perjanjian dagang dan investasi antar negara diartikan sebagai aneksasi, dan konteks pemilu diartikan sebagai “revolusi”.
Akibatnya, nilai persatuan kita terguncang hebat. Penegakan hukum yang seyogyanya menjadi sarana untuk menjaga nilai, dicurigai dan dianggap sebagai kriminalisasi.