Kejumawahan bertambah saat pelatih yang dianggap sukses mengantar persepakbolaan ke level Asia, juga mengancam lengser. Tidak hanya pelatih, para pemain pun kompak membela sang ketua yang dilihatnya tidak layak disalahkan apalagi diminta pertanggungjawabannya.
Benar-benar kilah-berkilah menjadi wajah kita semuanya.
Mengikuti kisah dari celoteh “pemain” penyedia alat-alat militer, saya begitu miris mendengar sepak terjangnya demi mendapat proyek. Ada kawan yang ingin menjadi pemasok peralatan perang tapi ketika bertemu dengan pemegang kuasa anggaran harus menyetor upeti walau proyek belum tentu didapat.
Saya menjadi tidak heran ketika perantara penjual pesawat kitiran angin me-mark up penjualan dengan mengubah barang bekas menjadi angkutan berspesifikasi very-very important person.
Dengan alasan untuk dana komando, saat petinggi disetor dana. Sang penyalur ditutup jatah besar sementara sang pemilik proyek berpendapatan gembul hasil kongkalingkong sana-sini.
Dari “pemain” sejenis saya bisa mencermati, bisnis tipu-tipu model seperti itu menjadi sebuah kewajaran dalam bisnis di negeri ini. Harga harus dikerek tinggi bahkan setinggi-tingginya demi membagi hasil jarahan yang terlihat seolah sesuai prosedur kepada para pembesar.
Pembesar disenangkan dengan beragam fasilitas yang selama ini hanya menjadi impian rakyat jelata. Pembesar senang diperlakukan bak raja diraja sementara sang pemilik proyek bertingkah pola mirip the rich people.
Sekali lagi rasuah memang tidak bernalar seperti halnya pembebasan lahan di Tangerang Selatan, Banten, yang akan digunakan untuk pendirian sekolah menengah. Sang pemegang kuasa anggaran memoles sedemikian rupa sehingga harga lahan dilambungkan sementara sang pemilik tanah dibuat menerima penggantian yang minimal.
Alhasil dari dana yang dikeluarkan dari anggaran negara sebesar Rp 17,8 miliar maka yang dijadikan ajang bancakan mencapai Rp 10 miliar lebih (Cnnindonesia.com, 26 April 2022).
Rakyat kecil yang tidak memiliki pangkat apalagi harta menjadi gamang di zaman edan seperti sekarang ini. Tidak ada yang bisa diteladani, minimal dijadikan tokoh yang layak dikagumi.
Ketika rakyat susah mengidolakan pesohor, kini pun juga berganti muak usai sandiawara demi sandiwara dipertontokan mereka. Ada pesohor yang kerjanya mencari penghasilan dari derita orang tetapi ada juga pendakwah yang selalu bermasalah dengan dana umat.
Ada selebritas yang terekam melempar bola sodok ke arah istrinya tetapi dikilahkan hanya main-main. Ada pula yang mengusili petugas tetapi berkilah hanya ingin membuat konten edukasi.
Kita memang benar-benar tinggal di negeri yang penuh kilah-berkilah seakan lupa hidup kita hanyalah mampir ngombe.
“Hiduplah seakan-akan kamu akan mati besok. Belajarlah seakan-akan kamu akan hidup selamanya.” – Mahatma Gandhi (1869 – 1948).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.