Tradisi ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki berupa hasil bumi yang diberikan Tuhan.
Mirip dengan Grebeg Gunungan di Yogyakarta, tradisi ini diawali dengan pembacaan doa, dilanjutkan dengan arak-arakan hasil tani hingga ternak (gunungan).
Sepanjang jalan, warga sekitar akan saling berebut gunungan. Warga setempat percaya, tradisi ini dulunya merupakan kebiasaan para Wali Songo, sebagai bentuk ungkapan rasa syukur saat perayaan Idul Adha.
Bukan hanya arak-arakan yang bisa disaksikan, masyarakat juga bisa melihat hiburan tradisional khas Semarang.
Baca juga: Benarkah Tak Boleh Potong Kuku atau Rambut Sebelum Kurban Idul Adha?
Aceh memiliki tradisi Meugang saat hari raya Idul Adha yang sudah berlangsung sejak zaman kerajaan.
Meugang atau Makmeugang adalah tradisi menyembelih kurban seperti kambing atau sapi yang dilakukan saat Ramadhan, Idul Adha, dan Idul Fitri.
Daging yang disembelih nantinya akan dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Selain itu, umat Islam di Aceh juga akan mengolah daging yang ada menjadi hidangan untuk dimakan bersama keluarga.
Adapun, Meugang digelar sebagai ungkapan syukur atas kemakmuran tanah Aceh.
Ada sebuah tradisi perayaan Idul Adha di Cirebon, Jawa Barat yang berasal dari Sunan Gunung Jati, yakni Gamelan Sekaten.
Tradisi ini dipercaya merupakan salah satu cara Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di tanah Cirebon.
Setiap perayaan hari besar agama Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, gamelan di area Keraton Kasepuhan Cirebon akan dibunyikan.
Alunan gamelan ini menjadi penanda bahwa Muslim di Cirebon tengah merayakan hari kemenangan.
Biasanya, gamelan dibunyikan sesaat setelah Sultan Keraton Kasepuhan keluar dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Pada hari raya Idul Adha, umat Islam di Uli Halawang, Maluku Tengah, akan menggelar tradisi Lawa Pipi atau arak-arakan hewan kurban.