Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Keyza Widiatmika
Dosen

Mengajar paruh waktu di Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI)

"Den" untuk Semua Orang

Kompas.com - 19/06/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Saat itu, dari pelukis Affandi hingga penyair Chairil, semua menyebut “Bung!” untuk menyerukan gairah perjuangan.

Aura “Bung” terdengar begitu kuat. Cobalah sapa lawan bicara dengan “Bung” dalam suasana santai, obrolan akan terasa menjadi hal yang kudus seolah merencanakan urusan serius.

Sementara itu orang-orang di negara Barat, California tepatnya, menjadi pelopor sapaan istimewa (lagi-lagi khusus untuk laki-laki) yang sangat lazim diucapkan sekarang. Adalah “Bro” dari awalan kata “Brother” atau saudara laki-laki.

Sejak 1970-an, “Bro” telah menjadi sapaan akrab tanpa perlu ada yang disembah dan menyembah karena awal mula berkembangnya adalah di kalangan remaja yang gemar pesta.

Lambat laun “Bro” mulai jadi akar istilah-istilah beken. Ada bromance yang katanya julukan untuk hubungan persahabatan antara dua pria.

Ada juga brogrammer (dari bro dan programmer) untuk mereka yang sehari-harinya bergelut dengan komputer dan bahasa pemrograman.

Baik “Bung” atau “Bro” merupakan sapaan yang terdengar egaliter. Keduanya kini hadir tanpa memedulikan strata sosial subyek yang disapa.

Sebelumnya “Bung” populer pada mereka sebagai tokoh Bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, juga Bung Sjahrir.

Kini “Bung” bahkan akrab untuk pranatacara sepak bola. Sebut saja Bung Ricky Johanes, Bung Kusnaeni, hingga Bung Towel.

“Bro” yang dulunya familiar di kalangan remaja California, kini jadi panggilan untuk para politisi.

Ada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang kerap disapa Bro Sandi, atau anggota Partai Solidaritas Indonesia yang saling menyapa dengan “Bro” untuk jiwa yang katanya lebih anak muda.

Namun tetap saja, bagi saya panggilan “Bung” dan “Bro” masih distingtif. Keduanya mencolok dengan maskulinitas. Lantas, di mana letak masalah besarnya? Untuk saya, tidak ada.

Hanya saja ketika tiba-tiba teringat dengan lakon dan dialog-dialog di sinetron yang pernah saya tonton saat kecil, saya jadi memanggil sejumlah teman dengan julukan “Den”, setidaknya sejak enam bulan terakhir.

Menyapa dengan “Den” seolah membuat saya sedang berbicara dengan seorang bangsawan, walau kata ganti orang ke-dua setelahnya menggunakan sapaan yang lebih karib. Dari “aku-kamu” hingga “gue-lo”. Tapi itu bukan jadi perkara utama.

Sejak awal tahun 2022, kita dihidangkan obrolan-obrolan politik terkait usulan perpanjangan sebuah kekuasaan menjadi tiga periode.

Usulan-usulan yang mendoktrin bahwa meski melawan undang-undang, hal ini bisa jadi pertimbangan. Dengan alasan itu, saya melawan dengan memberi gelar “Den” untuk semua orang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com