Namun setahap demi setahap berbagai bentuk perilaku menyimpang mulai bermunculan. Hingga tibalah hari ini, masa ketika kebisingan di media sosial bahkan bisa melampaui kegaduhan dalam interaksi nyata.
Silang sengketa di real life pun tak jarang dipantik oleh huru-hara di media sosial. Segala yang mencerahkan umat manusia dan segala yang menarik mundur peradaban tumpah ruah di situ.
Karena itu, benarlah sikap para penggagas dan penyusun UU ITE; mereka telah meramal bahwa jika dibiarkan menjadi dimensi di mana kebebasan bersifat nirbatas, media sosial akan menjadi ruang seindah surga sekaligus seburuk neraka.
Terlepas dari segala perdebatan yang ada di seputar UU ITE, terutama terkait kebebasan berpendapat dan efeknya terhadap demokratisasi, kenyataannya adalah kini UU ITE sedikit banyak telah menjadi penawar atas berbagai bentuk ketidaksemenggahan tindak-tanduk manusia di jagat virtual.
Jelas, langkah penyempurnaan UU tetap patut dilakukan dari waktu ke waktu, sebagai bentuk respon adaptif negara terhadap semakin canggihnya kehidupan di dunia virtual.
Pun, mengikuti alur perkembangan dunia virtual itu, Polri telah membentuk satuan kerja kriminal khusus sejak beberapa tahun lalu.
Perkembangan metaverse pun nampaknya akan setali tiga uang. Pada waktu sekarang, tingkah polah masyarakat yang diwakili oleh avatarnya masing-masing masih sebatas berupa aktivitas kesenangan belaka.
Namun bisa dipastikan, ke depannya, rupa-rupa pelanggaran hukum akan berlangsung di dunia Metaverse itu.
Dan manakala pelanggaran-pelanggaran itu kian masif dan dirasakan semakin otentik dengan kehidupan nyata para manusia pemilik avatar, maka niscaya para warga Metaverse akan mencari polisi untuk memberikan bantuan dan menegakkan hukum.
Di beberapa negara luar, kejadian “aneh” itu sudah berlangsung. Ada avatar yang dijahati oleh avatar lainnya.
Avatar, sebagai representasi manusia nyata, yang menjadi korban tidak bisa menerima perlakuan itu.
Ia bereaksi sebagaimana individu yang disakiti dalam kehidupan nyata. Ia marah, sakit hati, dan melampiaskan dendamnya dengan balas menyerang avatar kedua.
Ringkasnya, si pemilik avatar merasa guncangan jiwa yang setara keparahannya dengan saat ia mengalami trauma dalam kesehariannya.
Ada pula si empunya avatar yang memutuskan mengakhiri hidupnya setelah avatarnya dihina-dina oleh avatar-avatar lain di sebuah taman kota metaverse.
Peristiwa-peristiwa itu mengenangkan kita kembali pada istilah cyber bully. Itu semua sesungguhnya perbuatan pidana. Dan terhadap tindak pidana, semestinya tidak boleh ada aksi vigilantisme.