"Mau tidak mau masyarakat akan tetap pakai Pertalite dan elpiji subsidi karena kebutuhan utama," kata Bhima kepada Kompas.com, Rabu (6/4/2022).
Imbasnya pun akan lebih luas.
Keterpaksaan akibat kenaikan BBM ini akan berujung pada pengurangan konsumsi barang lain, misalnya penundaan membeli barang elektronik, otomotif, pakaian jadi, dan lain-lain.
Bahkan, imbasnya berpotensi menyebabkan perusahaan melakukan efisiensi massal dengan PHK karyawan.
"Biaya produksi industri kan sudah naik sejak tahun lalu sementara omset terganggu kenaikan pertalite, maka perusahaan tidak punya opsi selain efisiensi," jelas dia.
"Worst scenario-nya adalah gelombang penutupan ritel dan pabrik kembali terjadi," tambahnya.
Kendati demikian, kondisi ini bukan berarti tak bisa teratasi.
Baca juga: PKS Kritik Pemerintah Tak Mampu Rem Kenaikan Harga Barang Kebutuhan Pokok
Menurutnya, pemerintah bisa menahan selisih harga keekonomian Pertalite dan elpiji 3 kilogram melalui subsidi silang.
Subsidi silang ini diberikan sebagai hasil windfall penerimaan negara dari ekspor minerba dan perkebunan.
Pasalnya, pemerintah diproyeksi sedang mengalami lonjakan pendapatan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp 100 triliun.
Ia menjelaskan, hal ini terjadi akibat naiknya harga komoditas ekspor.
Selain subsidi silang, Bhima menyebut efisiensi dan penundaan mega proyek, seperti Ibu Kota Negara (IKN) juga wajib dilakukan.
"Tidak ada jalan lain, karena urgensi saat ini adalah stabilitas harga pangan dan energi, bukan pemindahan gedung pemerintahan," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.