Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ishaq Zubaedi Raqib
Mantan Wartawan

Ketua LTN--Infokom dan Publikasi PBNU

Manhaj NU, Staqufiyah dan Identitas Agama

Kompas.com - 10/03/2022, 11:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dari tatanan politik, khazanah wacana keagamaan hingga hal-hal yang bersifat ritual. Wawasan negara agama menjelma keyakinan kokoh, dan masih diyakini sebagai ortodoksi Islam yang otoritatif.

Hingga akhirnya negara-negara agama terjebak dalam konflik besar dan berujung Perang Dunia I.

Sebagai sebuah nature, interaksi antarnegara agama secara tak terhindarkan cenderung mengarah kepada konflik.

Sebab, perebutan politik diterjemahkan sebagai aksi perebutan kebenaran absolut dari agama. Maka, kompetisi politik selalu dimaknai rivalitas kebenaran vs kebatilan, Tuhan lawan iblis, kebaikan versus kejahatan.

Turki Utsmani yang dianggap representasi konstruksi negara Islam pun kalah dan bubar!

Saat itu, semua negara dan kerajaan menggunakan identitas agama. Terjadinya perang, aksi penaklukan dan perluasan wilayah, sering karena dalil agama.

Tapi, pada saat yang sama, wacana dan kesadaran untuk meninggalkan format negara agama, mulai tumbuh.

Trauma akut akibat konflik panjang berabad-abad dan berpuncak pada Perang Dunia I, jadi motivasi utama. Pada abad itu, hanya Amerika Serikat yang bukan negara agama.

Meski Kristen Protestan jadi agama dominan, tapi identitas ini dianggap tidak relevan dalam kehidupan rakyat di negara yang lahir di abad 18 itu.

Amerika Serikat adalah negara multikultur dan kosmopolitan. Tapi, Paman Sam bukan negara pertama yang mengadopsi sistem tersebut.

Jauh sebelum itu, empat abad silam, sebuah kerajaan di Nusantara, sukses mengelola hidup tidak berlandaskan identitas agama. Namanya Majapahit.

Meski rajanya, Hayam Wuruk, beragama Hindu dan Mahapatih Gajah Mada menganut Budha, tapi keduanya bukan agama negara.

Majapahit mengamalkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika--Berbeda Tapi Satu Jua. Karena identitas agama tidak menjadi keputusan politik kerajaan, maka penduduk Majapahit bebas menganut agama yang diyakini.

Di kemudian hari, banyak pangeran Majapahit masuk pesantren.

Kebebasan beragama yang saat ini dianggap sebagai hak dasar semua orang, tidak tumbuh dalam negara dan kerajaan yang menjadikan agama sebagai identitas politik.

Inggris yang Anglikan tak pernah akur dengan Irlandia Utara yang Katholik. Non-Katholik jadi warga kelas dua di Prusia.

Non-muslim di Turki Usmani, wajib punya "tiket" dzimmah khalifah agar bisa menjalankan agamanya.

Bersambung, baca artikel terakhir Manhaj NU, Staqufiyah dan Masail Fiqhiyah

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com