Lebih dari 70 juta tentara militer, 60 juta orang Eropa, dimobilisasi dalam salah satu perang terbesar dalam sejarah.
Tak kurang dari 9 juta prajurit gugur, akibat teknologi senjata yang mematikan. Perang ini adalah salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah dunia.
Dampak yang massif dan di luar dugaan, membuka jalan perubahan politik di negara peserta perang. Revolusi muncul di sejumlah negara, termasuk di Turki Utsmani.
Bagi Eropa, Turki Utsmani adalah pemicu perang dalam banyak skala. Dari aneksasi, ekspansi hingga perang antarkawasan.
Ratusan tahun Turki Utsmani "menjajah" Eropa. Perang Dunia I, memaksa Eropa berhitung. Mereka melempar agitasi dan memprovokasi para sultan di negara-negara bagian, termasuk di Timur Tengah, memberontak dan melepaskan diri dari Turki Utsmani.
Propagandanya; bangsa Arab lebih berhak atas khilafah di tanah Arab dari pada bangsa Turki.
Sekutu yang memenangi Perang Dunia I, "punya kuasa" mengatur ulang batas-batas negara yang kalah. Tak terkecuali negara-negara bekas bagian Turki Utsmani, seperti di kawasan Timur Tengah.
Tanah Hijaz yang dijanjikan kepada Sultan Syarif Husein, justru diserahkan Inggris kepada penguasa Najed, Abdul Aziz bin Saud.
Syarif Husein lari ke Kerajaan Urdun. Oleh Bin Saud, Hijaz disatukan dengan Najed, menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Bagi Eropa, semua langkah, harus memastikan Turki Utsmani tidak akan bangkit selamanya, dan Dawlah Islamiyah tidak akan pernah lahir lagi.
Salah satu langkah yang membuat Sekutu tetap punya alasan bisa hadir di kawasan tersebut, dengan dalih stabilitas kawasan dan kepentingan imperialis, adalah lahirnya negara Israel lewat Deklarasi Balfour tahun 1917.
Diam-diam Inggris dan Perancis berbagi kavling di eks Turki Utsmani.
Bersambung...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.