KOMPAS.com - Gunung Anak Krakatau yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, mengalami erupsi hingga sembilan kali pada Jumat (4/2/2022).
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat, erupsi itu terjadi pada pukul 09.43, 10.25, 10.28, 12.46, 13.00, 13.31, 13.41, 14.46, dan 17.07 dengan tinggi kolom abu berkisar 800-1.000 meter di atas puncak dan warna kolom kelabu-hitam tebal.
Berdasarkan pemantauan visual oleh PVMBG, terdapat indikasi bahwa erupsi yang terjadi merupakan tipe magmatik, sejalan dengan kegempaan vulkanik yang terekam.
Baca juga: Update, Gunung Anak Krakatau Kembali Meletus, Status Masih Waspada
Adapun kegempaan gunungapi Anak Krakatau sendiri telah terjadi sejak 16 Januari hingga 4 Februari 2022, ditandai dengan terekamnya gempa-gempa vulkanik dan gempa permukaan yang mengindikasikan adanya intrusi magma dari bawah ke permukaan secara bertahap.
Dari data pemantauan secara visual dan instrumental mengindikasikan bahwa gunung Anak Krakatau masih berpotensi terjadi erupsi.
"Potensi bahaya dari aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini dapat berupa lontaran lava pijar, material piroklastik maupun aliran lava. Hujan abu lebat secara umum berpotensi di sekitar kawah di dalam radius 2 km dari kawah aktif," ucap Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, sebagaimana rilis yang diterima Kompas.com, Jumat (4/2/2022) malam.
Baca juga: Benarkah Gempa Banten dan Erupsi Gunung Anak Krakatau yang Baru Terjadi Saling Terkait?
Sementara itu, hujan abu yang lebih tipis dapat menjangkau area yang lebih luas bergantung pada arah dan kecepatan angin.
Saat ini, imbuhnya tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau ditetapkan pada Level II (Waspada).
PVMBG merekomendasikan agar masyarakat tidak mendekati dan beraktivitas di dalam radius 2 km dari kawah aktif.
Baca juga: Erupsi Gunung Anak Krakatau Tak Sebabkan Tsunami, Ini Penjelasan BMKG
Pihaknya berharap, masyarakat dapat mematuhi rekomendasi yang dikeluarkan oleh Badan Geologi melalui PVMBG.
Selain itu, pihaknya juga mengimbau kepada masyarakat agar tidak terpancing dan meneruskan berita-berita yang tidak benar dan tidak bertanggung jawab mengenai aktivitas Gunung Anak Krakatau.
"Saat ini beredar video-video erupsi gunung api Anak Krakatau tahun 2018 yang seakan-akan merupakan kondisi gunungapi tersebut saat ini. Mohon tidak meneruskan berita-berita yang tidak benar," pungkasnya.
Baca juga: Sejarah Gunung Anak Krakatau dan Letusan Terdahsyat 1833 yang Menewaskan 36.417 Orang...
Diberitakan Kompas.com (11/4/2020), Krakatau atau disebut juga Krakatoa dalam bahasa Inggris adalah gunung berapi yang terletak di pulau Rakata.
Pulau ini terletak di Selat Sunda yang memisahkan pula Jawa dan Sumatra.
Secara geografis, Krakatau terletak di pertemuan antara lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia. Area ini diketahui memiliki aktivitas vulkanik dan seismik yang tinggi.
Meniliki dari lokasinya, secara administratif Krakatau sendiri berada di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.
Gunung legendaris ini terbentuk pada masa purba dan diperkirakan pernah mengalami erupsi dahsyat pada tahun 416 Masehi. Erupsi tersebut kemudian membentuk kawah raksasa berdiameter 6 kilometer.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Letusan Hebat Gunung Tambora yang Mengubah Dunia
Salah satu yang tidak terlupakan dari Krakatau yakni letusan dahysat pada 1883 silam. Pada 20 Mei 1883, Krakatau menunjukkan gejala vulkanik aktif.
Awan abu vulkanik mencapai ketinggian 6 mil (10 km) dan suara ledakan terdengar hingga Batavia (Jakarta), 100 mil (160 km) jauhnya, tetapi pada akhir Mei aktivitas itu mereda.
Aktivitas vulkanik dimulai kembali pada 19 Juni dan menjadi semakin memuncak pada 26 Agustus.
Pada pukul 1 siang hari itu, serangkaian ledakan yang semakin keras terjadi, dan pada pukul 14.00 WIB awan hitam abu setinggi 27 mil (27 km) terlihat di atas Krakatau.
Baca juga: Benarkah Gempa Banten dan Erupsi Gunung Anak Krakatau yang Baru Terjadi Saling Terkait?
Puncak erupsi terjadi pada pukul 10.00 WIB tanggal 27 Agustus, dengan ledakan luar biasa yang terdengar hingga 2.200 mil (3.500 km) jauhnya di Australia dan mendorong abu vulkanik hingga mencapai ketinggian 50 mil (80 km).
Letusan dahsyat dari Krakatau memicu serangkaian tsunami, yang tercatat mencapai Amerika Selatan dan Hawai.
Gelombang terbesar tsunami mencapai ketinggian 120 kaki (37 meter) dan merenggut 36.000 jiwa di kota-kota pesisir terdekat Jawa dan Sumatra.
Semua bentuk kehidupan di pulau-pulau sekitar Krakatau terkubur di bawah lapisan abu yang tebal dan tidak ada tanda-tanda kehidupan hingga lima tahun kemudian.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Letusan Gunung Tambora, Tewaskan 71.000 Jiwa dan Eropa Tanpa Musim Panas
Pada awal 1928, akibat aktivitas vulkanik dan seismik yang terus berlangsung, tampak puncak gunung kecil yang naik mencapai permukaan laut.
Lalu, pada 1930 puncak kecil itu menjadi pulau kecil bernama Anak Krakatau yang juga merupakan gunung berapi.
Gunung berapi itu telah aktif secara sporadis sejak saat kemunculannya dan terus mengalami pertumbuhan hingga ketinggian mencapai sekitar 1.000 kaki (300 meter) di atas permukaan laut.
Baca juga: Erupsi Gunung Anak Krakatau, Status Masih Level II Waspada
Pada 2018, erupsi Anak Krakatau mengakibatkan gelombang tsunami yang menyapu pesisir pantai Jawa dan Sumatera.
Sedikitnya 426 orang tewas dan 7.202 lainnya terluka akibat peristiwa itu.
Anak Krakatau kembali menunjukkan aktivitas vulkanik dengan terjadinya erupsi pada Jumat (4/2/2022).
Baca juga: Update, Gunung Anak Krakatau Kembali Meletus, Status Masih Waspada