Boleh jadi, ia terjungkal karena urusan itu.
Sebagai orang nomor satu di jam'iyah, Gus Yahya sudah memiliki bayangan hampir selesai soal "governing" PBNU.
Dengan mengadaptasi sistem pemerintahan presidensial, ia ingin PBNU berbenah. Bermetamorfosa cepat, menjadi pseudo kabinet a la sebuah government.
Di sinilah, ia menghadapi ujian perdananya. Hampir pasti akan muncul sejumlah pihak yang merasa memiliki share dalam kemenangan di muktamar lalu.
Terkait ini, Gus Yahya sangat paham cerita di balik gerilya politik PDI Perjuangan yang menuntut Presiden Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) untuk berbagi wewenang dengan Wakil Presiden Megawati.
Sebagaimana ia juga dapat belajar dengan baik bagaimana Gus Dur menggunakan jurus Dewa Mabuk saat meninggalkan koboi Senayan dengan muka masam, menahan (tawa) (karena pura-pura) marah.
Sesuai amanat muktamar, akhir Januari 2022 akan menjadi awal sangat menentukan bagi Gus Yahya.
Ia akan mengenalkan personalia kabinetnya dalam struktur yang sudah diperbarui.
Menjelang dimulainya rangkaian Harlah NU, bersama Rais Aam KH Miftachul Akhyar, ia akan mengumumkan nama-nama.
Kalau kurang cermat, tidak seperti visi yang ditawarkan, maka harapan untuk bisa menghidupkan Gus Dur, akan sulit.
Jauh sebelum wafat, sudah tak terbilang jumlah anak muda NU yang suka cita belajar mengenal dan lalu mematut-matut diri sebagai penderek Gus Dur. Arus itu bertambah besar setelah Sang Idola meninggal dunia.
Benih komunitas Gurdurian tumbuh bak jamur. Luas cakupannya melebar.
Selain anak-anak "kandung" Nahdliyin, anak-anak ideologis dari luar NU, kian menguatkan sosok Gus Dur dalam percaturan Indonesia modern.
Menghidupkan Gus Dur dalam kondisi NU dan Indonesia kini, adalah idealisasi yang tepat. Saat benih sektarianisme muncul, Gus Dur adalah jalan keluar.
Saat rigiditas ajaran agama jadi dogma, Gus Dur adalah jalan keluar.