Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Moderasi Politik Ganjar Pranowo

Kompas.com - 24/12/2021, 05:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dibanding bakal calon presiden lain yang sering muncul dalam survei-survei politik nasional, Ganjar Pranowo bisa dikategorikan sebagai bakal calon yang lebih cenderung ke tengah alias "centerist" dalam berbagai aspek.

Posisi Ganjar secara ideologis hampir mirip dengan Jokowi, Joe Biden, bahkan Angela Merkel.

Jokowi, misalnya, adalah kader PDI-P yang tidak terikat secara genealogis politik kepada elite-elite tradisional partai dan bukan trah Soekarno.

Posisi ideologi ini membuat Jokowi cenderung lebih mudah diterima oleh kalangan non PDI-P, baik religius maupun sekuler.

Keberhasilan Jokowi mempertahankan kursi Istana di laga 2019 bersama dengan Ma'ruf Amin, yang notabene masih termasuk elite religius Nahdlatul Ulama(NU), membayar kekalahan Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU kala itu) tahun 2004 lalu.

Arti sementaranya, di saat kader PDI-P yang bukan dari "nuclear family"(keluarga inti) elite tradisional PDI-P dipasangkan dengan elite religius, peluangnya untuk menang jauh lebih besar ketimbang memasangkan elite "totok" PDI-P sebagaimana yang terjadi tahun 2004.

Tentu ketika itu juga distimulasi oleh besarnya dukungan pada SBY, sebagai pelengkap konfigurasi yang kurang fleksibel antara elite totok PDI-P dengan elite NU.

Kedua faktor ini membuat kemenangan SBY-JK cukup signifikan.

Hal tersebut bisa terjadi karena secara ideologis, sebagaimana Prabowo dan Gerindra, tokoh inti partai sudah memiliki massa yang "captive."

Memang angkanya tergolong besar tapi tidak "determinant", sehingga dibutuhkan sokongan dari partai dan kekuatan ideologi lain yang beririsan dengan ideologi partai untuk menorehkan angka yang "determinant".

Artinya, PDI-P sangat berpeluang menang jika memasangkan kader partai yang tidak "totok" secara ideologis dan latar belakang politik, alias nasionalis moderat seperti Jokowi dan Ganjar Pranowo, dengan calon lain di luar partai, ketimbang sebaliknya.

Karena, calon yang cenderung "centerist" lebih mudah diterima oleh kalangan non PDI-P dan justru menambah daya gedor dari kolaborasi PDI-P dengan partai dan kelompok non PDI-P.

Sementara jika memajukan calon yang sangat "totok", PDI-P jusru cenderung mengunci daya gedor partai hanya pada pendukung internal dan partai koalisi (captive voter).

Hal itu dalam tataran teknis akan sangat sulit menggandeng suara pemilih mengambang (floating voter) dalam jumlah yang besar.

Faktor semacam inilah yang membuat Jokowi-Ma'ruf tidak saja diperjuangkan secara sungguh-sungguh oleh PDI-P dan NU, tapi juga oleh elemen partai lain dan kelompok relawan yang tidak terafiliasi dengan partai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com